ADZAN JUM’AT
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ
إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ
الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ
عَلَى ذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil berkata, telah mengabarkan kepada
kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri
berkata, Aku mendengar As Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan
pada hari Jum'at dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu
apa yang biasa dipraktekkan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu
Bakar dan 'Umar? radliallahu 'anhu. Pada masa Khilafah 'Utsman bin 'Affan?
radliallahu 'anhu ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at
dia mememerintahkan adzan yang ketiga. Sehingga dikumandangkanlah adzan
(ketiga) tersebut di Az Zaura'. Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi
ketetapan."
HR Bukhari 3:448 No 865, Abu Daud 3:293 No 919, Nasa’i 5:236 No 1375, Al Baihaqi 3:205
Dalam memahai hadits di atas terjadi dua pendapat apakah
adzan Jum’at itu sekali atau dua kali, maka saya akan paparkan kedua pendapat
tersebut beserta alasannya.
Pendapat 1
Kelompok ini meyakini bahwa adzan Jum’at adalah sekali,
dengan berhujjah kepada keumumman dalil tentang adzan, dan kenyataan pada Zaman
Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra. Tidak mengamalkan adzan dua kali untuk
Jum’atan.
Pendapat 2
Yang dimaksud dengan adzan yang
ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara
adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua
adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath
al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama
sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di
atas mimbar :
وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ
وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ
أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)
Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,
ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh
para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah
yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat
Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam
berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib
al-Ladunniyyah disebutkan :
ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ
عَلَيْهِ
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut”
(al-Mawahib al Laduniyah,
juz II,: 249)
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.
Berdasarkan kajian beberapa keterangan di atas, akhirnya saya berpendapat /
menyimpulkan dua poin penting :
DUA POIN PENTING
[1]. Dua Alasan
Utsman -radhiallohu anhu- Adzan Dua Kali.
Dapat kita
ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu- menambahkan
adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal:
Ø
1). Semakin banyaknya
manusia, dan
Ø
2). Rumah-rumah mereka yang
saling berjauhan.
Barang siapa
memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan adzan
Ustman -radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti petunjuk
beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak mau
mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak ada
niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah
-shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar
radhiallohu anhuma.
Dan dua sebab
tersebut hampir tidak terwujudkan pada masa sekarang. Apalagi hampir seluruh
masjid yang ada sudah menggunakan speaker untuk mengumandangkan adzan, sehingga
semuanya dapat mendengarkan adzan jum’at baik yang dekat maupun yang jauh.
[2]. Adzan
Sekali atau Dua Kali?
Pendapat yang
tepat dan benar dalam masalah ini adalah, bahwa adzan jum’at sekarang ini cukup
dikumandangkan sekali saja. Berikut alasannya:
Ø
Tidak adanya sebab yang
mendorong untuk mengumandangkan adzan dua kali sebagaimana yang dilakukan
Utsman bin Affan -radhiallohu anhu- lantaran adanya dua asalan yang masuk akal
di atas.
Ø
Mengikuti sunnah Rasulullah
-shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar -radhiallohu anhuma-. Dan
tentu saja sunnah beliau jauh lebih kita cintai dari pada sunnah yang lainnya.
Bahwa persoalan Ibadah / keagamaan mesti bercermin kepada contoh teladan Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al Ahzab :21)
ومَا
آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. الحشر/۷
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.”
(QS.
Al Hasyr :7)
Dengan demikian, semua persoalan
keagamaan (Ajaran Islam) wajib dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai dua sumber kebenaran. Bahkan dalam persengketa pun tidak boleh lari
dari kedua sumber tersebut.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
.
النساء/٥٩
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
Berbeda dengan urusan keduniaan yang
diperbolehkan melakukan inovasi dan kreativitas di dalamnya, sebagaimana pernah
disabdakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut
ini.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ بِهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أُمُورِ
دِينِكُمْ فَإِلَيَّ - سنن ابن ماجه
Dari
Aisyah – semoga Allah meridhainya – bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda, “Jika sesuatu itu termasuk urusan keduniawianmu,
maka itu urusan kamu (kamu yang lebih mengetahuiny), tetapi jika termasuk
urusan agamamu maka harus kembalikan kepadaku.” (H.R. Ibn Majah 7:333 No 2462)
Untuk itu, di dalam urusan keagaaman
berlaku qaidah di bawah ini:
اَلأَصْلُ
فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيفِ وَاْلإِتِّبَاعُ . وَبِعِبَارَةٍ أُخْرَى :
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى
اْلأَمْرِ.
Pada
dasarnya pokok masalah dalam ibadah adalah berdiam diri dan mengikuti. Atau
dengan ungkapan lain, asal dalam ibadah itu batal sehingga ada dalil yang
memerintahkan.
Berkaitan dengan dua adzan ketika shalat
Jum’at sebenarnya harus berpegang pada dalil-dalil dan qaidah di atas. Apakah
di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi atau
tidak? Ada baiknya kita perhatikan beberapa dalil dan qaul di bawah ini:
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا
كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ
عَلَى الزَّوْرَاءِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ
بِالْمَدِينَةِ –
Dari
Saib ibn Yazid – semoga Allah meridhainya – ia berkata, “Adalah adzan pada hari
Jum’at yang pertama (terjadi) berlangsung ketika Imam telah duduk diatas mimbar
pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar ibn
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma. Maka tatkala zaman Utsman ibn Affan
dimana orang-orang semakin banyak, maka beliau menambah panggilan (adzan) ketiga
di Zaura.” Dan Abu Abdillah mengatakan bahwa Zaura itu suatu tempat di pasar
Madinah. (H.R. Bukhari 3:440 No 861)
Tambahan panggilan (adzan) ketiga
maksudnya, menambah satu lagi panggilan karena pada prakteknya pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada dua panggilan, yaitu
adzan dan iqamah ketika hendak menunaikan shalat Jum’at. Iqamah (qamat)
pun disebut nida` yang berarti panggilan. Dengan demikian, penambahan
adzan pada Utsman ibn Affan bukan adzan ketiga melainkan adzan kedua,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar rahimahullah di dalam kitabnya
sebagai berikut:
قَوْلُهُ
: ( زَادَ النِّدَاء الثَّالِث )
فِي
رِوَايَة وَكِيع عَنْ اِبْنِ أَبِي ذِئْب فَأَمَرَ عُثْمَان بِالْأَذَانِ
الْأَوَّل ، وَنَحْوه لِلشَّافِعِيِّ مِنْ هَذَا الْوَجْه ، وَلَا مُنَافَاة
بَيْنهمَا لِأَنَّهُ بِاعْتِبَارِ كَوْنه مَزِيدًا يُسَمَّى ثَالِثًا ،
وَبِاعْتِبَارِ كَوْنه جُعِلَ مُقَدَّمًا عَلَى الْأَذَان وَالْإِقَامَة يُسَمَّى
أَوَّلًا ، وَلَفْظ رِوَايَة عَقِيل الْآتِيَة بَعْد بَابَيْنِ " أَنَّ
التَّأْذِين بِالثَّانِي أَمَرَ بِهِ عُثْمَان " وَتَسْمِيَته ثَانِيًا
أَيْضًا مُتَوَجِّه بِالنَّظَرِ إِلَى الْأَذَان الْحَقِيقِيّ لَا الْإِقَامَة . – فتح الباري لابن حجر - (ج ۳ / ص ۳۱۸)
Perkataan: “Dan menambah panggilan
ketiga”
Menurut
riwayat Waki` dari Ibn Abi Dzi’b, maka Utsman menyuruh adzan pertama. Dan
senada dengan itu menurut riwayat Imam Syafi’i dari sanad tersebut. Tidak ada
saling menafikan diantara keduanya, karena ungkapan tambahan itu disebut (juga)
tsalits (ketiga), sebagai ungkapan untuk muqaddimah (permulaan)
bagi adzan dan iqamah, maka disebut (adzan) awal. Sedangkan lafal dari
riwayat ‘Aqil yang akan dating setelah dua bab ini dinyatakan dengan phrase
“Bahwa adzan kedua diperintahkan oleh Utsman”, dan penyebutan adzan kedua juga
karena ditinjau kepada makna adzan secara hakiki, bukan bermakna iqamah.
(Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz.
III, hlm. 318 di dalam Maktabah Syamilah)
Berikut ini keterangan lain mengenai
kedudukan adzan kedua:
فَلَمَّا
كَانَ زَمَانُ عُثْمَانَ وَحَدَثَتِ الْحَاجَّةُ بِكَثْرَةِ الْمُسْلِمِينَ
وَعَدَمِ تَبْكِيْرِهِمْ إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى نَحْوِ مَاكَانُوا يَفْعَلُونَ
فِي زَمَنِ مَنْ قَبْلَهُ ، أَمَرَ أَنْ يُؤَذِّنَ بِهِمْ لِلْجُمُعَهِ عَلَى
الزَّوْرَاءِ . – الإبداع ، ۱ : ٦٤ –
Maka
ketika masa Utsman ibn Affan dan adanya kebutuhan karena bertambahnya kaum
muslimin dan ketidakadaan sikap bersegera menuju ke masjid sebagaimana yang
terjadi pada zaman sebelumnya, maka Utsman menyuruh untuk mengumandangkan adzan
(pertama) untuk (mengingatkan) shalat Jum’at di Zaura (sebuah pasar di
Madinah). (Lihat kitab al-Ibda’, Vol. I, hlm. 64)
Berangkat
dari beberapa dalil dan qaul (pendapat) ulama diatas, maka K.H. Aceng
Zakaria menegaskan bahwa sesungguhnya adzan yang ditambahkan oleh shahabat
Utsman tidak keluar dari Maqashid Pembuat Syari’at (Allah Ta’ala),
karena adzan untuk shalat itu makna dasarnya adalah pemberitahuan (waktu
tibanya) shalat dengan menggunakan kata-kata tertentu tanpa tambahan dan
pengurangan. (Zakaria,
al-Hidayah, Garut: Dar Ibn Azka, t.th., hlm. 169)
Adapun
lafal-lafal yang tidak pernah bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau menyimpan adzan pada suatu tempat yang keluar dari maqasidnya
termasuk pemberitahuan yang hukumnya bid’ah. (Lihat kitab al-Ibda’,. I, hlm. 64)
Bahkan Imam Asy Syafi’i yang merupakan
Ulama Mujaddid pada Jamannya memberi komentar tentang masalah adzan Jum’at,
beliau berkata :
(قال
الشافعي) وأحب أن يكون الاذان يوم الجمعة حين يدخل الامام المسجد ويجلس على موضعه الذى يخطب عليه خشب أو جريد
أو منبر أو شئ مرفوع له أو الارض فإذا فعل أخذ المؤذن في الاذان فإذا فرغ قام فخطب
لا يزيد عليه
Imam as-Syafi’i -rahimahullah- berkata: “Dan saya menyukai adzan pada hari jum’at
dikumandangkan ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar dari kayu atau
tanah atau sesuatu yang lebih tinggi diatas bumi. Apabila imam telah
melakukan hal itu, maka muadzdzin memulai adzan. Bila telah usai, maka imam berdiri dan menyampaikan
khutbahnya, dan tidak boleh ditambah-tambahi (adzan lain) lagi.” Al Umm 1:224 fii Maktabah Asy Syamilah
(قَالَ الشَّافِعِيُّ)
وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ – الأم
Imam
Syafi’i berkata, “Diantara dua perkara itu, maka perkara yang terjadi pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (adzan hanya satu kali)
itu lebih aku cintai.” (Syafi’i, al-Umm, 1 : 224 di dalam Maktabah
Syamilah)
Adapun adzan 3x dalam hadits Bukhari, Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab
dan halaman yang sama:
(قال الشافعي) وأحب أن يؤذن مؤذن واحد إذا كان على المنبر لا جماعة
مؤذنين أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرني الثقة عن الزهري عن السائب بن
يزيد أن الاذان كان أوله للجمعة حين يجلس الامام على المنبر على عهد رسول الله صلى
الله عليه وسلم وأبى بكر وعمر فلما كانت خلافة عثمان وكثر الناس امر عثمان بأذان
ثان فأذن به فثبت الامر على ذلك (قال الشافعي) وقد كان عطاء ينكر أن يكون عثمان
أحدثه ويقول أحدثه معاوية والله أعلم (قال الشافعي) وأيهما كان فالامر الذى على
عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحب إلى (قال الشافعي) فإن أذن جماعة من
المؤذنين والامام على المنبر وأذن كما يؤذن اليوم أذان قبل أذان
المؤذنين إذا جلس الامام على المنبر كرهت ذلك
Imam Syafi’i berkata : aku suka jika Adzan seorang
muadzin sekali, yaitu apabila khotib naik mimbar, tidak boleh berkumpul dua
muadzin. Telah mengabarkan kepada kami Ar Rabi’ ia berkata telah mengabarkan
kepada kami Syafi’i, ia berkata telah mengabarkan kepadaku Ats tsiqah dari
Zahuri dari Saib bin Yazid bahwasanya adzan untuk Jum’at dimulai ketika imam
duduk di atas mimbar, sesuai petunjuk Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar
Radhiyallahu anhuma, Ketika pada masa Khalifah Utsman, jumlah manusia semakin
banyak, maka Utsman memerintahkan adzan ke dua, maka jadilah adzan ke dua itu
sebagai ketetapan.
Imam Syafi’i berkata : dan sesungguhnya dahulu Atho` mengingkari bahwa Utsman yang memulainya dan ia berkata: ‘Yang memulainya adalah Mu’awiyah. Wallahu a’lam.
Imam Syafi’i berkata : di antara perkara itu (adzan dua kali ), maka perkara yang terjadi di Zaman Rasulullah saw (adzan sekali) itu lebih aku Cintai.
Imam Syafi’i berkata : Maka apabila muadzin
mengumpulkan dua adzan sedangkan imam berada di atas mimbar, bagaikan muadzin
adzan sebelum adzan di satu hari apabila imam duduk di atas mimbar, aku benci
yang demikian.
Lalu beliau berkomentar lagi bahwa’
Siapapun yang memulainya (adzan 2kali), maka perkara yang telah ada pada masa
Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- tentu lebih aku cintai.”
KESIMPULAN
Dari pembahasan ringkas ini dapat kita simpulkan,
bahwa adzan dua kali berdasar kepada atsar Utsman, jika ingin di amalkan maka
harus adzan di pasar, karena berdasarkan hadits di atas Utsman melakukan demikian
karena manusia semakin banyak dan berjauhan sehingga tidak kedengaran adzan di
masjid, dan kenyataannya pada zaman Utsman sendiri, adzan di masjid 1 kali. Dan
bahwasanya yang benar untuk masa sekarang ini adalah mencukupkan adzan jum’at
sekali saja sebab illat (hal yang mendorong) untuk adzan dua kali sudah tidak
ada, kenyataan pada zaman sesudah Utsman, yaitu Ali bin Abi Tholib adzan satu
kali, sebagaimana keterangan berikut:
وقد كان الأذان على عهد رسول الله
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كما في سائر الصلوات، يؤذن واحد إذا جلس النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على المنبر. وكذلك كان يفعل أبو بكر وعمر وعلي
بالكوفة.
Dan
sesungguhnya adzan (jum’at) yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw
sebagaimana adzan dalam sholat-sholat yang lain, Muadzin adzan sekali apabila
Nabi saw duduk di atas minbar, dan demikian juga yang dilakukan Abu Bakar, Umar
dan Ali ketika di Kuufah.
Tafsir Al
Qurthubi 18:100, tafsir QS Al Jumu’ah: 9 fii Maktabah Syamilah
Wallahu a’lam.
By Ponco Edy S. PC Pemuda PERSIS Harjamukti-Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami hanya menjawab KOMENTAR yang menuju PERBAIKAN