SEJARAH & SYARIAH
ZAKAT FITRAH
Selama
13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad saw telah 13 kali
mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi saw yang
bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya
yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum
disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan
demikian pula dengan syariat Iedul fitrinya.
Setelah
Nabi saw hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah
ayat 183-184 al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar
disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai
diwajibkan zakat kepada kaum muslimin. (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh
Bulugh Al-Maraam, III:371) Zakat ini kemudian populer di kalangan kita
dengan sebutan zakat fitrah atau zakat fithri.
Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ
عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah
mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’
kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki
dan perempuan, dari kaum muslimin.”
(HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadits 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadits 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:25, No. 2282,
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadits 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No. hadits 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, IV:83, No. hadits 2399, Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadits 3301)
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari (Shahih
Al-Bukhari, II:547, No. hadits 1433), Ahmad (Musnad Ahmad, II:137, No. hadits 6214), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:112, No. hadits 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, III:61, No.
hadits 676) dengan sedikit perbedaan redaksi.
Pengertian Zakat Fitrah atau Fithri
- Pengertian Zakat
Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik,
berkah, tumbuh, atau berkembang. Kata itu mengacu pada kesucian diri yang
diperoleh setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang
dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai harta
kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.
Sedangkan secara istilah para ulama fikih telah menjelaskan
pengertian zakat sebagai berikut:
الزَّكَاةُ هِيَ
إِعْطَاءُ جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ
لِمُسْتَحِقِّهِ
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang
khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya”.
Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang
berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah Swt.:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." QS. At-Taubah:103
Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari
kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan
maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
- Pengertian Fitrah atau Fithri
Meski di dalam hadits-hadits Nabi Saw. penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah
zakat fithri, namun terkadang digunakan pula istilah zakat fitrah, dan
barangkali sebutan ini yang lebih populer di kalangan kita. Untuk mempertegas
peristilahan itu barangkali penting pula untuk dianalisa latar belakang
pembentukannya.
(a) Zakat Fitrah
Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak
28 kali, 14 di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya
berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa
penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia.
Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.” QS Ar Rum : 30
Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)". QS. Al-A’raf:172
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia
itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan
Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi saw.
bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ
يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya
yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, I:465, No. hadis 1319
Berdasarkan
pemaknaan kata Fitrah di atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini disebut
zakat fitrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badanya
dan kefitrahan pada jasadnya. (Lihat, Syekh Athiyyah
Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-Maraam, juz 4, hlm. 135)
(b) Zakat Fithri
Kata fithri makna asalnya adalah robek atau terbelah, sebagaimana dalam
ungkapan Fathara Naabul Ba’iir, artinya terbelah tempat taringnya untuk
tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam firman Allah Swt.
إِذَا السَّمَاءُ
انْفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” QS. Al-Infithar, :1
Berdasarkan
pemaknaan kata Fithri di atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat
fithri karena seakan-akan orang yang shaum “merobek atau membelah” masa
shaumnya dengan makan.
Dengan demikian, zakat ini disebut zakat
fithri karena yang menjadi sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum pada
bulan Ramadhan, penisbatan zakat kepada kata fitri merupakan bentuk penyebutan
akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab). (Lihat, Tawdhiih
Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371)
Ketentuan Zakat Fitrah
Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain menyebut istilah, Nabi saw.
pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum
muslimin, sebagai berikut:
1.
Muzakki Zakat Fitrah ( yang terkena kewajiban)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi
mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi
kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa,
ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih
didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya
sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya. Di dalam hadits diterangkan:
قَالَ ابْنُ عُمَرَ
: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ
وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمَرَ اَنْ تُؤَدَّي قَبْلَ
خُرُوْجِ النَّاسِ اِلَى الصَّلاَةِ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw.
mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)
atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan
dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum
orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:547, No. hadits 1432
Dalam riwayat lain diterangkan oleh Al-Hasan Al-Bishri:
خَطَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ
فِي النَّاسَ آخِرِ رَمَضَانَ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ أَدُّوا زَكَاةَ
صَوْمِكُمْ قَالَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ
مَنْ هَاهُنَا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قُومُوا فَعَلِّمُوا إِخْوَانَكُمْ
فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
وَالْأُنْثَى
“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang2 pada akhir bulan Ramadhan, lalu ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-Thawil) berkata, ‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya.’ Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah, ajarkanlah saudara2 kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak, orang merdeka, laki2 dan wanita pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha' kurma.
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadits 3291
Pada riwayat yang lain dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ“
Bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitri atas anak kecil dan orang dewasa, yang merdeka dan hamba sahaya, lelaki dan perempuan, sebanyak setengah Sha' gandum atau satu Sha' kurma atau sya'ir (jenis gandum)."
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, III:190, No. hadits 1580, V:52, No. hadits 2515, As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadits 2292; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadits 65
Kata
Ash-Shagiir (anak kecil) mencakup di dalamnya bayi yang masih berada
didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120
hari atau empat bulan. Sehubungan dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi
anak kecil, orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Abu Syaibah
أَنَّ عُثْمَانَ
كَانَ يُعْطِيْ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنِ الْحَبْلِ
“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi
yang dikandung.”
Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432, No. hadits 10.737
Demikian pula dengan para sahabat lainnya, sebagaimana
diterangkan oleh Abu Qilabah.
عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ
قَالَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ
وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَلَى الْحَبْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah
menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat
fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan. HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf,
III:319, No. hadits 5788.
2. Mustahiq / Masharif (Yang berhak menerima Zakat)
Menurut
Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang
berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf
(golongan).
Firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ( ٦۰)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah:60
Bila
ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu
digaris bawahi; Pertama,
kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua,
ushlub
(gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat.
A.
Kriteria
Ashnaf
1.
Fuqara (Fakir)
orang yang tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2.
Masakin (Miskin)
orang yang mempunyai
harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).
3.
Amilin
orang yang bertugas
untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.
Mu'allaf
a. orang kafir yang
ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru
masuk Islam yang imannya masih lemah
5.
Riqab
orang yang
memerdekakan hamba sahaya.
6.
Gharimin
orang yang berhutang
karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7.
Sabilillah
orang yang bersungguh-sungguh dalam
menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan
keutamaan akhlak)
8.
Ibnu Sabil
orang
yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.
B.
Ushlub
(Gaya Bahasa) Alquran
Dalam mengungkap sasaran zakat di atas,
Alquran menggunakan
ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat
di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li dan fie.
Huruf laam mengiringi
kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara,
al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum
(empat ashnaf
pertama).
Sedangkan
huruf fie
mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab,
al-gharimin,
sabilillah,
dan ibnus sabil
(empat ashnaf
kedua).
Penempatan
kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia
halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan
kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para
pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk
dirinya sendiri.
Sementara
empat ashnaf
yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat
dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun
(orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki
secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya,
sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah,
mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya
melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk
memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak.
Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran
zakat itu ada dua bagian:
Bagian
pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk
dirinya sendiri, yaitu al-fuqara,
al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian
kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat
bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara”
mereka, yaitu ar-riqab,
al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan
bahwa perpindahan dari “li”
pada empat ashnaf
pertama kepada “fie”
pada empat ashnaf
kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua
ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan
wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih
berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan
kemaslahatan kaum muslimin secara umum.
Masalah
sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji,
yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat atau muzakki (wajib zakat)
menyerahkan zakat kepada semua ashnaf
yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di
antara mereka?
Hemat
kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja
untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada
kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang
diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya
sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang
lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1.
Dari
Hudzaifah, ia berkata, “Apabila
engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.”
(Tafsir
Ath-Thabari ,VI : 404).
2.
Ibnu
Abas berkata, “Apabila
engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu
cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan
kepada yang selain sasaran tersebut.”
3.
Pendapat
di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul
‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir
Ath-Thabari, Ibid.,)
4.
Abu
Tsaur berkata, “menurut
pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan
ijtihad penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih
banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan
mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada
sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya,
senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh Az-Zakah, Dr. Yusuf
Al-Qardhawi, hlm. 667).
5.
kebolehan
memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan
tidak pula termasuk syubhat. Adapun kalimat tu’matan
lil masakin yang berkaitan dengan zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim
yang berkaitan dengan zakat mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul,
maka hal itu bukanlah takhshish
(pengkhususan), melainkan tanshish
(penekanan/prioritas) yang bersifat kondisional.
6.
Adapun
tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي
وَاحِدٍ أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ،
فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ
فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ
أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ
غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ
بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan
jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi)
pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab
itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika
tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat
memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit
(fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya.
Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi
hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab
masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya
satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.” (Lihat, Al-Mughni, V:223)
Adapun
hadits yang menyatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah
saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia
dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin”
HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I:585, No. Hadits
1609; Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, I:585, No. Hadits 1827; Ad-Daraquthni,
Sunan Ad-Daraquthni,
II:138, No. Hadits
1
Tidak
tepat bila digunakan sebagai mukhashshis
(dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq
miskin. Karena ungkapan Thu’matan
lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur
kalimat di atas fungsinya bukan bayan
lit takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish
(keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di
suatu daerah tertentu.
Sedangkan
hadis yang menyatakan:
أَغْنُوهُمْ عَنْ
الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Cegahlah
mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” HR. Ibnu
‘Addiy dan Ad-Daraquthni.
Menurut
Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam,
hlm. 131) Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam
Al-Bukhari, “Dia Munkar
Al-Hadiits.” (Lihat, Nashb
Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)
3.
Besaran Minimal
Yang
Diwajibkan
Ukuran
kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’), sebagaimana
diterangkan dalam hadits
sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ
وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
"Rasulullah
saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair
(gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil
dan dewasa dari kalangan muslimin...” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:547, No. hadits
1432
Perlu
diketahui bahwa Shaa’
itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, seperti
halnya liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun
yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya
dengan 1 liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan
berdasarkan Kg, karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang
ditakarnya.
Adapun
shaa'
yang dimaksud di dalam hadits
di atas ialah shaa'
nabawi,
yaitu shaa'
yang berlaku di zaman Nabi saw. Bila dikonversi berdasarkan satuan isi,
maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
1
sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter.
Berdasarkan
satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang
dikeluarkannya akan sama.
Sedangkan
bila dikonversi berdasarkan satuan berat jenis, maka hasilnya dapat beragam.
Dalam konteks inilah kita dapat memahami apabila para ulama berbeda pendapat
tentang ukuran satu shaa’
sebagai berikut:
Menurut
satu pendapat:
satu
shaa' nabawi
sebanding dengan 480 mitsqaal
biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal
sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal
sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’
sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul
Mumti', juz 6, hlm. 176)
Sedangkan
menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam:
satu
shaa' nabawi
adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama
dengan 3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih
Al Ahkam Syarah
Bulughul Maram, III:178)
Sementara
menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili:
1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’
sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (At-Tafsirul
Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan
ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu shaa’ berkisar
antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg).
Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran
zakat yang dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung
jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di
sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, misalnya ketika membayar hak orang
lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras
“super”,.
Karena
itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang
rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian
pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah
(satuan harga) maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan.
Karena itu, berdasarkan konversi qiimah,
besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan
harga yang berlaku saat itu.
4.
Apakah Makanan
Pokok
Menjadi
Syarat
Sah
Zakat
Fitrah?
Di
dalam hadits-hadits tentang zakat
fitrah, kita akan mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan).
Adapun hadits-hadits itu sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ibnu
Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari
kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadis 1439
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ
رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى
كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw.
mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair
(gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak
kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
Demikian
pula praktik para sahabat atas ketentuan itu, sebagaimana dijelaskan oleh Abu
Sa’id Al-Khudriy berikut:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي
عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا
مِنْ طَعَامٍ
“Kami
(para sahabat) mengeluarkan zakat firtah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu)
hari raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadis 1439.
Apabila
hadits-hadits di atas dibaca
secara mantuq
(makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat
fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun
kata At-Tha’aam
pada hadits Abu Sa’id Al-Khudriy
tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil
(keterangan terperinci) pada hadits-hadits sebelumnya.
Berdasarkan pendekatan mantuq
hadits-hadits itu, maka zakat
fitrah dengan beras atau jagung tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan
mengeluarkan dalam bentuk qiimah
(harga atau nilai barang).
Namun,
benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa zakat fitrah wajib
dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat
kami, kalimat min
tamrin atau min
sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis
(keterangan pengkhusus), melainkan bayaan
lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi
dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan
sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari
Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci
bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang
miskin.”
HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I:585, No. Hadits
1609; Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, I:585, No. Hadits 1827; Ad-Daraquthni,
Sunan Ad-Daraquthni,
II:138, No. Hadits
1.
Dari
hadits di atas kita dapat
memahami bahwa Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan
(kurma & gandum) karena dua sebab:
Pertama,
dilihat dari sisi mustahiq, kedua jenis makanan itu lebih bermanfaat untuk
orang miskin waktu itu sebagai thu’matan
(makanan mudah saji).
Kedua,
dilihat dari sisi muzakki, kedua jenis makanan itu waktu itu lebih mudah
didapat atau biasa dimiliki secara umum.
Hal
ini tampak semakin jelas didukung oleh data faktual yang menunjukkan bahwa pada
praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang disebut oleh Rasul.
Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ
"Dahulu orang2 mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering)."
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadits 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadits 2295.
Abu
Said al-Khudriy menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ
الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami
mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau
tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur
kering).”
HR.
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadits 1439.
Dalam
redaksi lain:
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa' kurma, satu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain."
HR. An-Nasai, Sunan An Nasai, V:53, No. hadits 2518.
كُنَّا نُخْرِجُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلَمْ نَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ مِنْ الشَّامِ وَكَانَ فِيمَا عَلَّمَ النَّاسَ أَنَّهُ قَالَ مَا أَرَى مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ إِلَّا تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ هَذَا قَالَ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
"Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika Rasulullah saw. masih ada di antara kami sebesar satu sha' makanan, satu sha' kurma, satu sha' gandum atau satu sha' susu kering. Kami terus melaksanakan seperti itu hingga Mu'awiyah datang dari Syam. Dan di antara yang ia ajarkan kepada orang2 adalah Ia berkata, ‘Kami tidak melihat dua mud gandum Syam kecuali setara dengan satu sha' dari ini.’ Abu Sa'id berkata, 'Maka orang-orang mengambil pendapat tersebut'.”
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:51, No. hadits 2513; As-Sunan Al-Kubra, II:27, No. hadits 2292.
Mengapa
jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا
الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“sya’ir
(gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr
(kurma) adalah makanan kami” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadits
1439.
Keterangan
Abu Said di atas menunjukkan bahwa:
(1)
Para
sahabat memahami hadits
Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq
(makna tersurat), namun secara mafhum
(makna tersirat),
(2)
Yakni
para sahabat memahami hadits
itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan
diperluas jenis makanannya,
(3)
Secara
ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik zaman sahabat sudah lebih
berkembang daripada zaman Nabi
saw.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan
“nilainya”, yaitu 1 sha’ atau yang senilai sha’ dalam ukuran isi (liter), berat
(Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi nilai
itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadits sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى
أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ
النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia
berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.”
Maka orang-orang mengambil konversi itu.
HR.
Muslim, Shahih Muslim,
II:678, No. hadits
985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
II:113, No. hadits
1616; Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IV:165, No. hadits 7490.
Karena
itu, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul
Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh
harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½
dirham. (lihat, Mushannaf
Ibnu Abu Syaibah, II:398)
5. Waktu
Membagikan Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah ibadah yang muqayyad dan mudhayyaq, yaitu
terikat waktu dan juga terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat
fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu?
Abu Sa'id Al-Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي
عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا
مِنْ طَعَامٍ
“Kami
(para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu)
hari raya fithri
(berupa) satu shaa' dari makanan.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadits
1439.
Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi
petunjuk bahwa para sahabat Rasulullah saw. membagikan zakat fitrah kepada para
mustahiq di zaman Rasulullah adalah pada yawmal
fithri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan
para sahabat di atas merupakan pengamalan terhadap instruksi Rasulullah saw, sebagaimana
diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ
إِلىَ الصَّلاَةِ
Rasulullah
saw. memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang keluar (pergi)
ke salat (hari raya). HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadits 1438.
Hadits ini menunjukkan bahwa ketentuan
waktu membagikan zakat fitrah kepada para mustahiq adalah pada yawmal fithri
(siang hari raya fithri), bukan pada malam hari
Dalam
riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Bahwa Rasulullah saw.
memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat
menunaikan shalat Ied.
HR.
Muslim, Shahih Muslim,
II: 679, No. hadits
986; Ahmad, Musnad Ahmad,
II:67, No. hadits
5345; II: 154, No. hadits 6429; An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, II:30, No. hadits 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No.
1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih
Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra,
IV: 174, No. hadits
7526; Abd bin Humaid, Musnad
Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No.
hadits
359.
Dalam
riwayat lain dengan menggunakan kalimat:
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ
زَكَاةِ الْفِطْرِ
“memerintahkan
agar mengeluarkan zakat fithrah”
HR.
Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni,
II:152, No. 66.
Selain
itu, menggunakan pula kalimat shadaqah
al-Fithri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ
الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar mengeluarkan shadaqah
fithri”
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. 2423.
Sedangkan
dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara
bihaa (Sunan
Ad-Daraquthni, II:153, No. hadits 69)
Sedangkan
di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ
بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
"Sesungguhnya
Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fithri sebelum pergi salat
(hari raya)". HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
III:62, No. hadits
677.
Keterangan
Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—menunjukkan dengan jelas makna yawmal fitri yang
dimaksud, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi
sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied)
setempat.
Sehubungan
dengan itu, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ
إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ
صَلاَةِ الْفَجْرِ
"(maksud)
sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar
untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh." Lihat,
Fathul Bari,
III : 439.
Kemudian
Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang mendahulukan zakatnya pada "hari
raya fithri" di hadapan
salatnya, karena Allah telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
'Sungguh
beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian
ia salat'." Lihat, Fathul
Bari, III : 439.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas,
maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu
adalah dimulai sejak fajar hari raya fithri sampai selesai salat 'ied setempat.
Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan,
yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman
Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan
ataupun kelembagaan (jami' zakat).
Ada
sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh
dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fithri, bahkan
sehari atau dua hari sebelum hari raya. Pendapat itu
didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ
قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
"Dan
Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka
menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya."
HR.
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II: 549, No. hadits 1440.
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.”
HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610.
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.”
HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421.
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ كَانَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ “Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadits 3299.
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat
dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari
setelah maghrib sebelum shubuh di hari fithri, apalagi sehari atau dua hari
sebelum hari raya, dengan pertimbangan: riwayat ini belum menerangkan secara
jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada
mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka
dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari
sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya
kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي
تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari
Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang
mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri.
HR.
Malik, Al-Muwatha,
I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad
Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IV: 112, No. 7161.
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu
Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ : مَتَى كَانَ
ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ ؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ :
مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ : قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ
"Aku
bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1
shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, 'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).' Aku
bertanya lagi, 'Kapan amil itu di bentuk?' Ia menjawab, 'Satu hari atau dua hari
lagi menjelang idul fitri'."
HR.
Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, IV:82, No. hadits 2397.
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam
Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa "mereka memberikan
zakat fitrah (sebelum hari raya) lil
jam'i (untuk dikumpulkan) laa
lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin)." (Fathul Bari, III
: 440-441)
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari,
dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan
kepada para mustahiq, tapi kepada jami zakat sebagai amanat untuk di bagikan
kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana
yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya.
Dengan
demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat
fitrah - setelah salat subuh hingga selesai salat ied setempat - adalah
ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi
dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan:
Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional
Timbul
permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu 'illah (alasan,
sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadits yang menerangkan
waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya
ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat
sedikitnya jumlah anggota masyarakat di masa itu, sementara mereka saling
mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui
siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem
apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.” (lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi,
1993 : 144)
Dalam
hal ini, kami tidak sependapat dengan pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas
mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah saw.
wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun
situasi dan kondisinya telah berubah. Karena kita memaklumi
bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman
makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi
masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka
untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan
oleh Rasulullah saw., tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka
untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga
zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Berdasarkan
pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi
Rasulullah saw dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul
(diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun
menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang teknis pelaksanaan agar
diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga dalam waktu yang sudah
ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan.
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan
riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya
adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu
sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu
mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq sesuai dengan
lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan
petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak
mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang
lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada
pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin agar zakat fitrah tersebut dapat
diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai
dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Wallaahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami hanya menjawab KOMENTAR yang menuju PERBAIKAN