HADIS-HADIS DHA’IF SEPUTAR RAMADHAN
Pendahuluan
Hadis
Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Dilihat dari
periwayatannya hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur'an, semua
periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis, sebagian
periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
Hadis
mengenal istilah shahih, hasan, dhaif bahkan mawdhu’ (palsu) yang menunjukkan
derajat statusnya. Hal demikian itu berarti menghendaki kita memperlakukan hadis
secara berbeda sesuai dengan statusnya, sehingga dalam kaitan hadis kita harus
cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya.
Kualitas dari hadis ini akan berpengaruh pada pengambilan hadis, baik dalam
pijakan hukum Islam maupun bidang lainnya.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an tidak lagi perlu dilakukan
penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya.
sedangkan hadis perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya dengan diadakan
penelitian, dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadis ini memang benar
dari Nabi Muhammad dan bukan hadis yang palsu. Penelitian ini bukan meragukan
keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian kita dalam pengambilan
dasan hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti
Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.
Dari
pentingnya permasalahan ini maka muncullah berbagai macam kritik atas hadis
dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadis. Dalam
ilmu hadis tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis
yaitu sanad, matan dan rawi.
Kriteria
Hadis Shahih
Untuk
menentukan sahih dan tidaknya suatu hadis yang diriwayatkan, para ahli hadis
umumnya menetapkan kriteria sebagai berikut:
a)
diriwayatkan dengan sanad muttashil.
Maksudnya
setiap rawi yang ikut ambil bagian dalam periwayatan, bertemu dan menerima
langsung apa yang diriwayatkannya itu dari gurunya (Lihat, Manhaj al-Naqd fi
Ulum al-Hadis, Dar el-Fikr, 1996, hal. 242)
b)
rawi-rawinya ‘adl dan dhabt.
- ‘adl atau ‘adalah
Menurut
Dr. ‘Ajaj al-Khatib,
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِي النَّفْسِ تَحْمِلُ
صَاحِبَهَا عَلَى مُلاَزَمَةِ التَّقْوَى وَالْمُرُوْءَةِ فَتَحْصُلَ ثِقَةُ
النَّفْسِ بِصِدْقِهِ وَيُعْتَبَرُ فِيْهَا الإِجْتِنَابُ عَنِ الْكَبَائِرِ
وَعَنْ بَعْضِ الصَّغَائِرِ…
“Sifat
yang melekat pada jiwa, yang akan membawa (pemiliknya) kepada ketetapan taqwa
dan muru’ah secara menyeluruh, hingga memperoleh kredibilitas karena
kejujurannya, dan dalam hal ini diperhatikan pula meninggalkan dosa-dosa besar
serta sebagian dosa kecil…” (Lihat,
Ushul al-Hadis, Dar al-Ma’arif, 1985, hal. 231-232. Bandingkan
dengan Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul,
Dar el-Fikr, t.t., hal. 51; Dr. M. Azami, Manhaj al-Naqad ‘Inda
al-Muhadditsin, Maktabah al-Kautsar, Mekah, 1990, hal.24)
Menurut
Dr. Nur al-Din ‘Itr,
مَلَكَةٌ تَحْمِلُ صَاحِبَهَا عَلَى
التَّقْوَى وَاجْتِنَابِ الأَدْنَاسِ وَمَا يُخِلُّ بِالْمُرُوْءَةِ عِنْدَ
النَّاسِ
“Tabiat
yang membawa pemiliknya kepada taqwa, meninggalkan dosa, dan perilaku yang
dapat merusak muru’ah menurut manusia”. (Lihat, Manhaj al-Naqd, op.cit.
hal. 79)
Menurut
Al-Sarkhasi (W. 490 H/1096 M),
…ثُمَّ العَّدَالَةُ نَوْعَانِ ظَاهِرَةٌ وَبَاطِنَةٌ
فَالظَاهِرَةُ تَثَبَتْ بِالدِّيْنِ وَالْعَقْلِ عَلَى مَعْنًى أَنَّ مَنْ
أَصَابَهَا فَهُوَ عَدْلٌ ظَاهِرًا لأَنَّهُمَا يَحْمِلاَنِهِ عَلَى الإِسْتِقَامَةِ
وَيَدْعُوَانِهِ إِلَى ذلِكَ وَالْبَاطِنَةٌ لاَ تُعْرَفُ إِلاَّ بِالنَّظَرِ فِي
مُعَامَلاَتِ الْمَرْءِ وَلاَ يُمْكِنُ الْوُقُوْفُ عَلَى نِهَايَةِ ذلِكَ
لِتَفَاوُتٍ بَيْنَ النَّاسِ فِيْهِمَا وَلكِنْ كُلُّ مَنْ كَانَ مُمْتَنِعًا مِنِ
ارْتِكَابِ مَا يَعْتَقِدُ الْحُرْمَةَ فِيْهِ فَهُوَ عَلَى طَرِيْقِ
الإِسْتِقَامَةِ فِي حُدُوْدِ الدِّيْنِ
“…kemudian
’adalah itu ada dua macam, zhahir (kongkret) dan batin (abstrak). ‘Adalah
secara lahiriah ditetapkan oleh agama dan akal, dengan pengertian orang yang
mencapainya berarti ‘adil secara lahiriah. Karena agama dan akal itu akan
membawa dan menyerunya kepada sikap istiqamah. Sedangkan ‘adalah secara batin
tidak dapat diketahui kecuali dengan memperhatikan pergaulannya dan tidak
mungkin diketahui batasan hal itu karena berbeda-beda di antara manusia. Akan
tetapi setiap orang yang dapat menahan diri dari melakukan sesuatu yang
diyakini keharamannya, maka dia berada pada jalan istiqamah dalam batas-batas
agama” (Lihat,
Ushul al-Sarkhasi, Dar el-Ma’rifah, Beirut, 1373 H, I:350-351)
Untuk
memenuhi kriteria ‘adalah ini diperlukan beberapa syarat sebagai
berikut:
(a)
Muslim
Seorang
perawi disyaratkan beragama Islam, karena ia menyampaikan kabar-kabar yang
membenarkan ketetapan hukum syara‘, sedangkan orang-orang kafir memusuhi kaum
muslimin dalam urusan agama, dan permusuhan itu telah mendorong mereka untuk
berusaha menghancurkan ajaran Islam dengan cara memasukkan sesuatu yang bukan
daripadanya dan menisbahkannya kepada Rasulullah saw. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمْ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu anggap sebagai sahabat karib lain
daripada (golongan) kamu; mereka tidak putus-putus (berikhtiar) menarik
kecelakaan atas kamu; mereka suka apa yang menyusahkan kamu; sesungguhnya
kebencian telah terbit dari mulut mereka; tetapi apa yang disembunyikan hati
mereka, ada lebih besar. Kami telah menerangkan tanda-tanda kepada kamu, jika
kamu (mau) berfikir.” Q.s.
Ali ‘Imran [3]:118
Beragama
Islam dijadikan syarat rawi ketika menyampaikan hadis, bukan ketika menerimanya.
Karena itu riwayat dari sahabat Jubair bin Muth‘im (W. 59 H/678 M) yang
mengatakan bahwa ia mendengar Nabi saw. membaca surah al-Thur pada waktu salat
maghrib, dapat diterima walaupun ketika itu Jubair belum masuk Islam.
(b)
Baligh
Seorang
perawi disyaratkan baligh ketika menyampaikan hadis bukan ketika menerimanya.
Yang dimaksud dengan baligh dalam pembahasan ini ialah berakal (paham terhadap
kewajiban) serta sudah mencapai usia ihtilam. Karena itu, riwayat dari
sahabat Mahmud bin ar-Rabi dapat diterima, walaupun ketika menerimanya ia masih
berusia 5 tahun.
(c)
Taqwa
Menurut
Ibn Hajar, yang dimaksud dengan takwa di sini ialah meninggalkan
perbuatan-perbuatan dosa, seperti syirik, bid’ah, dan fasiq (Lihat,
al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, Beirut: Dar
el-Fikr, t.t. juz II, hal. 18)
Pensyaratan
taqwa mengacu kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu.” Q.s. Al-Hujurat [49]:6
(d)
Memelihara muru’ah
Menurut
Ibn Hajar, muru’ah adalah kesempurnaan manusia, seperti jujur dalam berbicara,
mencurahkan kebaikan, mencegah sesuatu yang merugikan/menyusahkan orang lain.
(Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit.)
Al-Zunjani,
pada kitabnya Syarh al-Wajiz, berkata, “Untuk mengetahui batasan muruah
dikembalikan kepada urfi (kebiasaan), karena muru-ah tidak berkaitan dengan
syara’. Anda tahu bahwa perkara urfi sedikit sekali yang baku, bahkan
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu dan tempat. (Lihat, Abu
Abdurrahman Shalah bin Muhamad bin ‘Uwidhah, Ta’liq ‘ala Muqaddimah Ibn
al-Shalah, op.cit. hal. 84)
Sedangkan
perkara-perkara yang dapat merusak muru-ah adalah perilaku-perilaku yang tidak
sesuai dengan etika muslim, seperti kencing di jalan, berkawan dengan orang
yang berakhlak rendah, bermain catur, bermain burung, dan lain sebagainya.
(Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit. al-Khatib, op.cit. hal. 232)
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa muru-ah lebih banyak berkaitan dengan ukuran-ukuran
moral manusia. Inilah persyaratan ‘adalah yang harus dipenuhi oleh seorang rawi
ketika meriwayatkan hadis. Meskipun demikian, orang yang memenuhi kriteria
‘adalah bukan berarti “bersih” dari segala kekurangan dan kesalahan sekecil apa
pun. Hanya yang dijadikan tolok ukur dalam ‘adalah menyangkut kadar kelebihan
dan kekurangannya. Apabila kelebihannya melebihi kekurangannya dan
kekurangannya itu dapat tertutup oleh kelebihan tersebut, maka rawi tersebut
dinyatakan ‘adil.
Kriteria
penetapan ‘adalah rawi
Para
ulama telah menetapkan kriteria untuk mengetahui ‘adalah seorang rawi.
Sebagian telah disepakati dan sebagiannya lagi masih diperdebatkan:
1.
Kriteria yang disepakati
a)
Pernyataan ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap orang tersebut, seperti shaduq,
tsiqatun, dan lain-lain. Hal ini ditujukan bagi rawi yang belum dapat
dipastikan kualitasnya dan belum sampai ke tingkat masyhur di kalangan umum.
b)
Sudah tersebar dan termasyhur perihal dirinya, sehingga ‘adalah-nya
tidak perlu lagi dinyatakan, seperti al-Auza‘i (W. 157 H/773 M), Malik (W.
179 H/795 M), Sufyanain (dua Sufyan), yaitu Sufyan al-Tsauri (W.
161 H/777 M) dan Sufyan bin Uyainah (W. 194 H/809 M), Abdullah bin
al-Mubarak (W. 181 H/797 M), Ahmad bin Hanbal (W. 241 H/855 M) Ali bin
al-Madini (W. 234 H/848 M), al-Bukhari (W. 256 H/869 M), dan orang-orang yang
mengikuti jejak langkah mereka. Orang-orang seperti mereka ini tidak perlu
dipertanyakan lagi sifat ‘adalah-nya.
Imam
Ahmad pernah ditanya tentang ‘adalah Ishaq bin Rahawaih (W. 237 H/851
M). Ia menjawab:
مِثْلُ إِسْحَاقَ يُسْأَلُ عَنْهُ ؟
“Orang
semacam Ishaq ditanyakan ?” (Lihat,
Dr. Abd al-Maujud Muhamad Abd al-Lathief, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil: Dirasah
wa Tathbiq, al-Dar al-Salafiyah, Kuwait, 1988, hal 30; Al-Rahman, op.cit.
hal.230)
Ibn
Ma’in juga pernah ditanya tentang Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (W. 224 H/838
M). Ia menjawab
مِثْلِيْ يُسْأَلُ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ
؟ أَبُوْ عُبَيْدٍ يَسْأَلُ عَنْهُ النَّاسُ
“Orang
seperti saya ditanya tentang Abu Ubaid ? Abu Ubaid menjadi rujukan orang-orang”
(Lihat, Al-Latief, Loc.cit.)
Yang
dimaksud termasyhur di sini bukan masyhur periwayatannya, melainkan
keutamaan dan ketsiqatannya. Sebab tidak sedikit rawi yang termasyhur
periwayatannya, namun justru tidak diakui ‘adalah-nya,
Seperti Tharif bin Salman atau yang lebih populer dengan sebutan Abu ‘Atikah.
Ia termasyur dengan riwayat:
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Imam
al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-hadis”(Lihat, Al-Tarikh al-Kabir, Dar
el-Fikr, t.t. IV:357)
Ungkapan
ini ditujukan kepada rawi yang hadisnya tidak halal untuk diriwayatkan. (lihat,
Mushthafa bin Ismail, Syifa’ al-‘Alil bi Alfazh wa Qawaid al-Jarh wa
al-Ta’dil, Maktabah Ibn Taimiyyah, Kairo, 1991, I:379)
c)
rawi tersebut dipergunakan periwayatannya di dalam kitab yang sudah diakui
kesahihannya, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
2.
Kriteria yang diperdebatkan
a)
rawi tersebut dipergunakan oleh para penyusun kitab hadis yang dianggap
memenuhi kriteria Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, namun
dalam kenyataannya pada kitab tersebut banyak rawi yang tidak memenuhi kriteria
kedua imam tersebut, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Imam al-Hakim dalam
kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.
b)
pernyataan rawi bahwa ia hanya meriwayatkan hadis dari orang yang tsiqat,
baik disebutkan namanya atau hanya menyebutkan sifatnya, seperti
حَدَّثَنِي الثِّقَةُ
c)
kepastian ‘adalah setiap orang yang mengemban ilmu hadis, berdasarkan
sabda Nabi saw.
يُحْمَلُ هذَا الْعِلْمُ مِنْ كُلِّ
خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ
تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَتَأْوِيْلَ
الْجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ
“Ilmu
ini (ilmu hadis) akan diemban dari setiap generasi oleh orang yang ‘adil,
mereka akan menolak perubahan yang dilakukan oleh orang yang fanatik,
pentakwilan oleh orang yang bodoh, dan penjiplakan orang yang bathil” H.r. Ibn ‘Abd al-Barr (Lihat, al-Tamhid
li Ibn ‘Abd al-Barr, Wuzarah ‘Umum al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah,
Maroko, 1387 H, I:59)
Dari
hadis ini Ibn ‘Abd al-Barr (W. 463 H/1070 M) berpendapat bahwa setiap orang
yang berkecimpung dalam urusan hadis dapat dipastikan ‘adalah-nya, hingga
terbukti kecacatannya. (Lihat, Al-Tamhid, op.cit, I:29)
- ad-Dhabth
kata
al-dhabt secara bahasa berarti al-hazm, yaitu keteguhan atau
ketetapan hati dalam pekerjaan. Sedangkan menurut istilah umum, al-dhabt
mengandung pengertian “memperdengarkan perkataan sebagaimana yang didengarnya,
lalu memahami makna yang dimasud oleh perkataan itu, kemudian menghafalnya
dengan sungguh-sungguh dan tetap mengingatnya sampai waktu menyampaikannya
kepada orang lain”. (Lihat, Abd al-Rauf al-Manawi, al-Ta’arif,
Beirut: Dar el-Fikr, 1410, hal 469; Ali bin Muhamad al-Jarjani, Kitab
al-Ta’rifat, Jeddah: al-Haramain, t.t., hal 137)
Adapun
di kalangan ahli hadis istilah al-dhabth menunjukkan sifat yang
menjadikan seorang rawi memiliki kelayakan untuk menyampaikan dan mengajarkan
hadis seperti yang diterimanya.
Dalam
pandangan Ibn al-Shalah, al-dhabth mengandung pengertian:
أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِي مُتًيَّقِظاً
غَيْرَ مُغْفِلٍ، حَافِظاً إِنْ حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ، ضَابِطاً لِكِتَابِهِ إِنْ
حَدَّثَ مِنْ كِتَابِهِ.وَإِنْ كَانَ يُحَدِّثُ بِالْمَعْنَى: أُشْتُرِطَ فِيْهِ
مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ عَالِماً بِمَا يُحِيْلُ الْمَعَانِي، والله أعلم.
“keadaan
rawi ingatannya kuat, lancar bila menyampaikan hafalannya dan menguasai
(redaksi) tulisannya bila menyampaikan dari kitabnya. Dan jika ia menyampaikan
secara makna, maka disyaratkan harus mengetahui sesuatu yang dapat mengubah
makna. Wallahu A’lam.” (Lihat,
Muqaddimah Ibn al-Shalah, op.cit.:84-85)
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa al-dhabth terbagi kepada dua macam:
a)
dhabth shadr, yaitu orang yang betul-betul hafal terhadap hadis sejak
menerima sampai waktu menyampaikannya.
b)
dhabth kitab, yaitu orang yang menulis hadis yang diterimanya ke dalam
sebuah catatan, dan menjaga dari perubahan huruf serta harakat (yang
bisa berakibat terjadinya perubahan makna) semenjak menerima hadis itu sampai
saat ia menyampaikannya.
Dhabth dan tidaknya seorang rawi dapat
diketahui dan ditetapkan dengan memperhatikan riwayatnya. Bila hadis yang
disampaikannya sesuai dengan riwayat orang lain yang tsiqat, walaupun dari segi
makna, maka dhabth-nya diakui. Namun apabila bertentangan, berarti tidak
diakui dhabth-nya dan ditolak riwayatnya. Keadaan ini, oleh para ahli
hadis diistilahkan dengan mukhalafah al-tsiqah.
Apabila
‘adalah dan al-dhabt telah terwujud pada seorang rawi, maka rawi
itu dipandang tsiqat, dan hadis yang diriwayatkannya dapat
dijadikannya hujjah
Kriteria
hadis shahih berikutnya:
c)
tidak ada ‘ilah.
Maksudnya
hadis tersebut terhindar dari berbagai penyakit hadis yang dapat menodai
kesahihannya, seperti me-mutasil-kan (menyambungkan) sanad yang munqathi
(terputus), me-marfu-kan hadis mauquf (menyatakan perkataan
sahabat sebagai sabda Nabi), dan sebagainya. (Lihat, ‘Itr, op.cit.,
hal. 243; Al-Khatib, op.cit., 305)
d)
tidak syadz.
Maksudnya
hadis tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan rawi lain yang lebih kuat,
baik dari segi hafalan maupun jumlah hadis. (Lihat, ‘Itr, op.cit., hal.
242)
Berdasarkan
kriteria di atas, maka unsur-usur kaidah kesahihan hadis di atas pada intinya
dapat diklasifikasikan menjadi dua macam;
1.
yang berhubungan dengan sanad, yaitu (1) sanad hadis yang bersangkutan harus
bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi saw.; (2) seluruh
periwayat dalam hadis itu bersifat 'adil dan tam dhabith; (3) terhindar dari
ilat; (4) terhindar dari syudzudz.
2.
yang berhubungan dengan matan, yaitu (1) terhindar dari ilat; (2)
terhindar dari syudzudz.
Dengan
mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama hadis
menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis
sahih. Apabila sebagian unsur itu tidak terpenuhi, mungkin unsur yang berkaitan
dengan sanad atau yang berkaitan dengan matan, maka hadis yang bersangkutan
bukanlah hadis sahih.
Apabila
sebagian unsur hadis shahih—sebagaimana telah dijelaskan—tidak terdapat
pada suatu hadis, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih. Hadis yang
tidak shahih dikategorikan menjadi dua jenis: (a) hasan dan (b) dha’if.
Hadis
Hasan
Hadis
hasan adalah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ خَفِيْفُ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
“Hadis
yang disampaikan oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak ada ilat, dan tidak syadz.”
Definisi
di atas mengacu kepada kriteria Ibnu Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:
وخبر الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل
السند غير معلل ولا شاذ هو الصحيح لذاته ،فان خَف الضبط،فالحَسَنُ لذاته
“Dan
khabar ahad yang disampaikan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya, tidak
ada ilat, dan tidak syadz, itulah khabar yang shahih lidzatihi (shahih
secara mandiri). Jika kurang sempurna hafalannya, maka dikategorikan hasan
lidzatihi.” (Lihat, Nukhbah al-Fikr:29 dan 34)
Berdasarkan
penjelasan Ibnu Hajar di atas, tampak jelas perbedaan antara hadis shahih
dengan hadis hasan, yaitu dalam unsur dhabit (hapalan) rawi. Dalam hadis shahih
disyaratkan tamm ad-Dhabth (sempurna hafalannya), sedangkan dalam hadis
hasan khafif ad-Dhabth (kurang sempurna hafalannya).
Perlu
diketahui bahwa hadis hasan terbagi menjadi dua bagian:
Pertama,
disebut Hasan Lidzatihi (secara mandiri), yaitu hadis yang memenuhi
kriteria hasan di atas. Sebagai contoh hadis hasan lidzatihi antara lain hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bahz bin Hakiem, dia berkata
حَدَّثِنْى أَبْي عَنْ جَدِّى قَالَ:
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبِرُ ؟ قَالَ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ:
ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمَّكَ
ثُمَّ أَبَاكَ, ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
‘Bapaku
telah bercerita kepadaku, dari kakekku, dia berkata, ‘Saya pernah bertanya
kepada Rasulullah saw., ‘Kepada siapa aku harus berbakti ? Beliau menjawab, ‘Ibumu’, saya
bertanya lagi, terus siapa lagi ? ‘beliau menjawab, ‘Ibumu, lalu aku bertanya
lagi, siapa lagi ? ‘Beliau menjawab, Ibumu, lalu bapakmu, lalu saudaramu yang
paling dekat dan yang seterusnya.’. HR. Ahmad
Hadis
ini dinilai hasan lidzatihi, karena salah seorang rawinya, yakni Bahz
bin Hakiem kurang kuat hafalannya.
Kalau
hadis seperti ini diriwayatkan pula melalui rawi lain yang sederajat atau lebih
kuat, baik sama sahabatnya atau berbeda, maka hadis hasan lidzatihi naik
derajatnya menjadi shahih La Lidzatihi atau Shahih Li Ghairihi.
Kedua,
disebut Hasan Lighairi atau La Lidzatihi
Menurut
Imam as-Suyuthi, Hasan Lighairi adalah hadis yang tidak terlepas
sanadnya dari orang yang mastur (tidak dikenal) –tidak nampak keahliannya-,
bukan orang yang pelupa yang banyak salahnya dalam meriwayatkan hadis, tidak
dicurigai bohong, tidak fasik, dan keadaan matan hadisnya dikenal dengan dasar
riwayat yang sama, baik dari segi lafad dan maknanya atau maknanya saja.” (Lihat,
Tadrib ar-Rawi, I:158).
Definisi
ini menunjukan bahwa hadis hasan lighairihi asalnya hadis dha’if yang
naik derajatnya menjadi hasan lighairihi disebabkan dua faktor:
Pertama,
dikuatkan oleh rawi lain yang sahih atau hasan lidzatihi, baik satu atau
lebih
Kedua,
sebab dha’ifnya karena buruk hafalannya atau munqathi (putus) sanad (jalur
periwayatannya), atau majhul (tidak dikenal) rawi-rawinya.
Tapi
kalau dha’ifnya itu disebabkan katsirul khata dan katsirul ghalat,
yaitu banyak salah dalam meriwayatkan hadis. Demikian pula cacatnya berkaitan
dengan akidah dan akhlak maka derajatnya tetap daif, tidak naik menjadi hasan
lighairihi, walaupun "dikatrol" oleh jalur lain yang shahih atau hasan
lighairi.
Contoh
hadis hasan ligharihi
حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ
يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيْبٌ
“Hak
bagi kaum muslim mandi pada hari Jum’at. Dan hendaklah salah seorang di antara
mereka mamakai pengharum keluarganya. Kalau tidak ada air pun cukup sebagai
pengharum.”
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi melalui seorang rawi
bernama Yazid bin Abu Ziyad. Imam ad-Dzahabi menerangkan bahwa Yazid terkenal
buruk hafalan (Lihat, Mizan al-I’tidal, IV:423).
Meskipun
demikian hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari sahabat
Abu Sa’id dengan perbedaan redaksi sebagai berikut:
أَلْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ
عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيْبًا إِنْ وَجَدَ.
“Mandi
pada hari ju’at itu wajib bagi setiap orang muslim yang sudah balig, dan
mengerjakan yang sunat, dan memakai pewangi kalau ada.”
Riwayat
al-Bukhari itu menguatkan periwayatan Yazid bin Abu Ziyad dalam riwayat
At-Tirmidzi dan Ahmad di atas, sehingga naik derajatnya menjadi hasan
lighairihi.
Perlu
diketahui bahwa istilah hasan telah dipergunakan pada abad ke-2 H, misalnya
oleh Imam as-Syafi'i dan Imam Ahmad, namun waktu itu belum dipublikasikan atau
belum begitu dikenal secara meluas. Istilah ini kemudian menjadi populer,
diperkenalkan secara luas oleh Imam at-Tirmidzi, sebagai murid al-Bukhari,
melalui kitabnya Sunan at-Tirmidzi, yaitu dalam kitab tersebut beliau
banyak memuat dan menyebut istilah hasan. Karena itu, Imam An-Nawawi berkata,
كِتَابُ التِّرْمِذِيِّ أَصْلٌ فِي
مَعْرِفَةِ الْحَسَنِ وَهُوَ الَّذِيْ شَهَّرَهُ
“Kitab
sunan At-Tirmidzi merupakan sumber pokok dalam mengenal hadis hasan dan dialah
yang memasyhurkan/memperkenalkan istilah ini”. (Lihat, At-Taqrib wa At-Taisir, 1985:30)
Menurut
penelitian kami, didalam kitab Sunan at-Tirmidzi, istilah hasan
disebut atau digunakan sebanyak 1505 kali, dengan variasi bentuk hasananun
shahihun 1347 kali, hasanun ghariebun 501 kali, gariebun hasanun
shahihun 2 kali, hasanun shahihun gharibun 156 kali, hasanun
ghariebun shahihun 53 kali.
Hadis
Dha’if
Hadis
dha’if
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ
الصَّحِيْحِ وَ الْحَسَنِ
“ialah
hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan hasan. (Lihat, Ushul
al-Hadits:337)
Sebab-sebab
dha’if ada dua macam:
Pertama:
سَقْطٌ مِنْ إِسْنَادٍ (putus sanadnya)
Yaitu
putus sanadnya karena “hilangnya” seorang rawi atau lebih pada sanad (jalur
periwataran), baik di awal, di tengah, atau di akhir sanad. Ada tiga faktor
yang menyebabkan “hilangnya” mata rantai sanad:
Pertama,
tidak sejaman, hadisnya disebut
- Mu’allaq (jika “hilang” di awal sanad)
- Mu’dhal (jika “hilang” dua rawi atau lebih secara berurutan di tengah sanad)
- Munqathi’ (jika “hilang” satu rawi atau lebih di tengah sanad, tapi tidak secara berurutan)
- Mursal jalli (jika “hilang” di akhir sanad)
Kedua,
sejaman tidak bertemu, hadisnya disebut Mursal Khafi
Ketiga,
bertemu tapi tidak berguru, hadisnya disebut: Mudallas.
Contoh
hadis dha’if karena putus sanadnya
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْ نِسْوَةً فِي
الْمَكْتُوْبَةِ فَأَمَّتْهُنَّ بَيْنَهُمَا وَسَطًا
“Aisyah
pernah mengimami perempuan-perempuan pada salat fardlu, dia berdiri
ditengah-tengah mereka”. H.r. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:131
Hadis
di atas dikategorikan sebagai hadis daif karena rawi bernama Maisarah Abu Hazim
tidak menerima hadis itu dari Raithah al-Hanafiyyah. (Lihat, Tahdzib
al-Kamal, XXIX:192, rawi No. 6326)
Kedua:
طَعْنٌ فِي رَاوٍ (cacat pada rawinya)
Cacat
pada rawi terbagi ke dalam dua jenis:
Pertama,
berkaitan dengan ‘adalah (integritas moral):
- Rawinya pendusta, hadisnya disebut Maudu’
- Rawinya dicurigai dusta, hadisnya disebut Matruk.
- Rawinya fasik, hadisnya disebut Munkar.
- Rawinya ahli bid’ah, hadisnya disebut Munkar.
- Rawinya tidak dikenal, hadisnya disebut Majhul.
Kedua,
berkaitan dengan dhabth (daya hafal dan kapasitas intelektual):
- Rawinya banyak salah, hadisnya disebut Munkar.
- Rawinya banyak lupa, hadisnya disebut Munkar.
- Rawinya banyak perkiraan (ragu-ragu), hadisnya disebut Mu’allal.
- Rawinya menyalahi periwayatan rawi lain yang shahih, hadisnya disebut
- Mudraj, yaitu terdapat sisipan rawi pada sanad atau kata/kalimat pada matannya.
- Maqlub, yaitu terbalik dalam penamaan rawi atau redaksi matan.
- Mudhtharib, yaitu diriwayatkan dari beberapa jalan dengan redaksi yang saling bertentangan dan tidak bisa ditentukan mana yang benar.
- Mushahhaf, yaitu terjadi perubahan titik pada nama rawi atau redaksi matan.
- Muharraf, yaitu terjadi perubahan syakal atau huruf pada nama rawi atau redaksi matan.
5.
Rawinya buruk hafalan, hadisnya disebut:
- Syadz, bila buruk hapalannya sudah sejak lama.
- Mukhtalith, bila buruk hapalannya terjadi pada masa tua, karena pikun, buta matanya atau terbakar kitabnya.
Contoh
hadis dha’if karena cacat rawi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ
الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه أبو داود و البيهقي
وأحمد والطحاوي و الدارقطني والنسائي و الدارمي –
Dari
Abu Huraerah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang hendak
sujud, maka janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah ia
menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Abu Daud, Al-Baihaqi,
Ahmad, At-Thahawi, Ad-Daraquthni, An-Nasai, dan Ad-Darimi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.رواه
الدارقطني
Dari
Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bila hendak sujud, beliau menempatkan
kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ad-Daraquthni.
Hadis
di atas dikategorikan sebagai hadis daif, karena pada sanad hadis pertama (Abu
Huraerah) terdapat cacat dalam dhabth rawi bernama Abdul Aziz bin
Muhamad Ad-Darawardi (w. 187 H). Abu Zur’ah berkata, “Buruk hapalan” (Lihat, Tahdzib
al-Kamal XVIII:194). Sedangkan pada sanad hadis kedua (Ibnu Umar)
terdapat cacat dalam ‘adalah rawi bernama Abdullah bin Nafi
as-Shaig. Kata Abu Zur’ah, “Dia munkarul hadits (hadisnya tidak halal
diriwayatkan)” (Lihat, Tahqiq Tahdzib al-Kamal, XVI:210)
Contoh
hadis dha’if karena cacat rawi:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ
فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ
الصِّبْيَانِ
“Siapa
yang melahirkan anak, lalu diadzani pada telinga sebelah kanan dan
diqamati pada telinga sebelah kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh
Ummus Shibyan (jin)”.
H.r. Abu Ya’la, Ibnu as-Suniy, dalam kitabnya ‘Amal al-Yawm wa al-Lailah, dan
Ibnu Asakir, dari As-Sayid al-Husen.
Hadis
di atas dha’if, karena pada sanadnya terdapat rawi Marwan bin Salim al-Ghifari,
Kata Imam as-Suyuthi, “Dia matruk.” (Lihat, Jami’ al-Ahadits al-Kabir,
I:24.774) Penilaian yang sama disampaikan oleh al-Haitsami. (Lihat, Majma’
az-Zawa’id, IV:59)
Hukum
Mengamalkan Hadis dha’if
Ahmad
Muhammad Syakir berkata, “(artinya) Menurut saya, menjelaskan kedha’ifan satu
hadis yang dha’if merupakan kewajiban pada setiap keadaan. Sebab, kalau tidak
dijelaskan seperti itu, maka orang yang membaca akan menyangka bahwa itu adalah
hadis shahih. Sesungguhnya tidak ada bedanya mengenai hal ini, baik hadis yang
berkaitan dengan hukum atau fadla’ilul A’mal dan sebagainya, semuanya tetap
tidak boleh menggunakan hadis-hadis dla’if, bahkan tidak ada hujjah buat siapa saja
kecuali dengan hadis dari Rasulullah saw. baik hadis shahih atau hasan.
Adapun perkataan Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, dan Ibnu Mubarak:
“Kalau kami meriwayatkan (hadis) mengenai halal dan haram, kami akan
memperketat (persyaratan mengenai sanadnya dan keadaan para rawinya), tetapi
kalau meriwayatkan (hadis) yang berkaitan dengan fadla’il (keutamaan) amal dan
yang lainnya (dorongan berbuat baik, ganjaran, doa-doa, dan banyak lagi), maka
kami mempermudah persyaratan sanadnya”, maka yang dimaksud oleh mereka menurut
pemahaman saya, wallahu A’lam, yaitu mengenai penggunaan hadis hasan
yang tidak sampai kepada derajat shahih. Sebab, istilah-istilah yang membedakan
antara yang shahih dan yang hasan, pada masa itu hampir tidak jelas. Apalagi
orang-orang dahulu pada umumnya tidak memberi predikat pada satu hadis kecuali
dengan shahih dan hasan saja”. (Lihat, al-Ba’its al-Hatsits syarah Ikhtishar
Ulum al-Hadits: 86-87)
Kesimpulan
Sesungguhnya
kita sudah mempunyai hadis-hadis shahih mengenai fadhaiul A’mal, dorongan
berbuat baik atau peringatan dari berbuat maksiat, dari himpunan sabda-sabda
Nabi yang banyak sekali, dan tidak perlu dijelaskan lagi disini mengenai
sifat-sifat hadis itu. Hadis yang seperti itu sudah cukup buat kita, sehinggai
kita tidak perlu mengambil lagi hadis-hadis dha’if dalam hal ini, apalagi
keutamaan-keutamaan mengenai akhlaqul karimah termasuk pokok-pokok agama. Tidak
ada bedanya antara hadis yang berkaitan dengan akhlak dan urusan hukum,
keduanya harus berdasar pada hadis shahih atau hasan.
Berdasarkan
unsur-unsur kaidah kesahihan-kedaifan hadis—sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya—kita akan menganalisa beberapa contoh hadis yang berhubungan dengan
bulan Ramadhan dan shaum di bulan itu, sebagai berikut:
A.
Doa khusus menyambut Ramadhan
Hadis
yang berkaitan dengan doa tersebut terbagi menjadi dua macam:
Pertama,
dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban. Adapun redaksi hadisnya sebagai
berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ
Dari
Anas bin Malik, ia berkata, “Nabi saw. apabila masuk bulan Rajab, beliau
berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahilah
kami pada bulan Ramadhan.’ Dan beliau berkata, ‘Malam Jumat itu indah dan siang
harinya bercahaya’.” HR. Abdullah bin Ahmad, Musnad Ahmad, IV:180, No.
hadis 2346.
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Apabila
masuk bulan Rajab, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab
dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan’.” HR. Al-Bazzar, Musnad
Al-Bazzar, II:290, No. 6494, Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,
IV:189, No. 3939, Ad-Du’a:284, No. 911, Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman,
III:375, No. 3815, Ad-Da’wat al-Kabir, II:142, No. 529, Ibnu Asakir, Mu’jam
asy-Syuyukh:161, No. 309, Al-Mundziri, At-Targhib wa at-Tarhib,
II:393, No. 1852, Abdul Ghani al-Maqdisi, Akhbar ash-Shalah:69, No. 127,
Al-Khalal, Fi Fadha’il Syahr Rajab:45, No. 1, Abu Nu’aim, Hilyah
al-Awliya, VI:269
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh banyak mukharrij (pencatat dan periwayat hadis), namun
semua jalur periwayatan hadis itu melalui seorang rawi bernama Za’idah bin Abu
ar-Ruqad. Ia menerima dari rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi. Dengan demikian,
hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar
tunggal).
Hadis
di atas dhaif karena dua sebab:
Pertama,
rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad
Rawi
tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain:
- Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-Hadits” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272). Imam al-Bukhari berkata:
كُلُّ مَنْ قُلْتُ فِيْهِ مُنْكَرُ
الْحَدِيْثِ لاَ تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
“Setiap
orang yang aku katakan padanya, ‘munkar al-Hadits’ tidak halal meriwayatkan
hadis darinya” (Lihat, Ar-Raf’ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta’dil:
208).
- Abu Dawud berkata, “Saya tidak mengenal khabarnya” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272).
- An-Nasai berkata, “Saya tidak tahu siapa dia” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272).
- Adz-Dzahabi berkata, “Dia dha’if.” (Lihat, Mizan al-I’tidal, II:65).
Kedua,
rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi
Rawi
tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain:
- Ibnu Ma’in berkata, “Pada hadisnya terdapat kedhaifan” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
- Abu Hatim berkata, “Hadisnya dicatat dan tidak dapat digunakan hujjah” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
- Abu Ubaid al-Ajiri berkata, “Saya bertanya kepada Abu Dawud tentangnya (Ziyad), maka ia mendhaifkannya.” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
- Ibnu Hiban berkata, “Dia keliru.” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
- Kata Ibnu Hajar, “Ibnu Hiban menyebutkannya pula dalam kitab ad-Dhu’afa, dan ia berkata, “Dia (Ziyad) munkar al-Hadits, meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak menyerupai hadis para rawi tsiqat. Dia ditinggalkan oleh Ibnu Ma’in.” (Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III:378)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Al-Baihaqi
berkata:
تفرد به زياد النميري وعنه زائدة بن أبي
الرقاد قال البخاري : زائدة بن أبي الرقاد عن زياد النميري منكر الحديث
“Ziyad
an-Numairi menyendiri dengan hadis itu, dan darinya diterima oleh Za’idah bin
Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari berkata, ‘Za’idah bin Abu ar-Ruqad dari Ziyad
an-Numairi, munkar al-Hadits’.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, III:375)
An-Nawawi
berkata:
وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعف
“Dan
kami meriwayatkan dalam kitab Hilyah al-Awliya dengan sanad yang padanya
terdapat kedaifan.” (Lihat, Al-Adzkar:274)
Al-Haitsami
berkata:
رواه البزار وفيه زائدة بن أبي الرقاد
قال البخاري منكر الحديث وجهله جماعة
“Diriwayatkan
oleh al-Bazzar dan padanya terdapat rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari
berkata, ‘Dia munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak dikenal) oleh
sekelompok ulama.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, II:165)
Al-Munawi
berkata:
وقال البخاري : زائدة عن زياد منكر
الحديث وجهله جماعة وجزم الذهبي في الضعفاء بأنه منكر الحديث
“Al-Bukhari
berkata, ‘Zaidah dari Ziyad munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak
dikenal) oleh sekelompok ulama. Dan Adz-Dzahabi telah menetapkan dalam kitabnya
adh-Dhu’afa bahwa dia munkar al-Hadits.” (Lihat, Faidh
al-Qadier, I:325)
Ahmad
Syakir berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).” (Lihat, Ta’aliq
‘Ala al-Musnad, IV:100)
Syekh
Syu’aib al-Arnauth berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).”
(Lihat, Ta’aliq ‘Ala al-Musnad, IV:180)
Kesimpulan
Hadis Pertama:
Hadis
yang berkaitan dengan doa menyambut Ramadhan yang dirangkaikan dengan bulan
Rajab dan Sya’ban kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk
pengamalan.
Kedua,
Tanpa dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban
Doa
khusus menyambut bulan Ramadhan yang populer di sebagian kaum muslimin dengan
redaksi:
اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ
وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً
Sejauh
penelitian kami, hampir selama 15 tahun, redaksi di atas tidak didapatkan
sumber asalnya, sehingga tidak jelas riwayat siapa.
Adapun
redaksi yang ditemukan sumber dan periwayatnya adalah sebagai berikut:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ :
اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ لِي
مُقَبَّلاً
Dari
Ubadah bin As-shamit: “Ya Allah, selamatkanlah aku untuk Ramadhan dan
selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia untukku (sebagai) yang
diterima.” HR. Ad-Dailami, Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:471, No.
1919
Dalam
penelusuran Ibnu Hajar redaksi hadis versi Ad-Dailami itu selengkapnya sebagai
berikut:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا
هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ يَقُولُ اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي
لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلا
Dari
Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami
beberapa kalimat apabila datang bulan Ramadhan, agar salah seorang di antara
kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah aku untuk Ramadhan dan selamatkanlah
Ramadhan untukku dan terimalah ia dariku (sebagai) yang diterima.” (Lihat, Al-Ghara’ib
al-Multaqathah min Musnad al-Firdaws Mimmaa Laisa fii al-Kutub al-masyhurah:589,
No. 614)
Sementara
At-Thabrani meriwayatkan dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا
هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ أَنْ يَقُولَ أَحَدُنَا اللَّهُمَّ
سَلِّمْنِي مِنْ رَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي
مُتَقَبَّلا
Dari
Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami
beberapa kalimat apabila datang bulan Ramadhan, agar salah seorang di antara
kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah aku dari Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan
untukku dan terimalah ia dariku (sebagai) yang diterima. HR. At-Thabrani, Ad-dhu’a:284,
No. 912
Abdul
Karim bin Muhammad al-Qazwini meriwayatkan pula dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا
دَخَلَ رَمَضَانُ يُعَلِّمُنَا أَنْ نَقُوْلَ اللّهُمَّ سَلِّمْنَا لِرَمَضَانَ
وَسَلِّمْ رَمَضَانَ مِنَّا وَتَسَلَّمْهُ مِنَّا مُتَقَبَّلاً
Dari
Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Nabi saw. apabila datang bulan Ramadhan
mengajarkan kepada kami agar kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah kami
untuk Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan dari kami dan terimalah ia dari kami
(sebagai) yang diterima.” At-Tadwin fi Akhbar Qazwin, III:424
Ad-Dzahabi,
dalam menjelaskan rawi Ibnu Syaghabah Abu al-Qasim Abdul Malik bin Ali bin
Khalaf, mencantum hadis tersebut dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا
هؤلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ
وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً.
Dari
Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Nabi saw. mengajarkan kepada kami beberapa
kalimat apabila datang bulan Ramadhan: Ya Allah, selamatkanlah aku untuk
Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia dariku (sebagai)
yang diterima.” HR. Ibnu Syaghabah Abu al-Qasim, Siyar A’lam an-Nubala,
XIX:51, No. rawi 31
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) dengan
redaksi yang berbeda, namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui seorang
rawi yang popular disebut Abu Ja’far ar-Razi, dari Abdul Aziz bin Umar bin
Abdul Aziz, dari Shalih bin Kaisan, dari Ubadah bin as-Shamit.
Dengan
demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq
(benar-benar tunggal).
Hadis
di atas dhaif dengan sebab kedaifan Abu Ja’far ar-Razi, namanya Isa bin Abu Isa
Mahan. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain: Al-Fallas berkata, “Dia
buruk hafalan”. Abu Zur’ah berkata, “Sering ragu-ragu (dalam meriwayatkan)”
(Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, II:500)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Syekh
Syu’aib al-Arnauth berkata:
إسناده ضعيف لضعف أبي جعفر الرازي، واسمه
عيسى بن ماهان، قال ابن المديني: كان يخلط، وقال يحيى: كان يخطئ، وقال أحمد: ليس
بالقوي في الحديث، وقال أبو زرعة: كان يهم كثيرا، وقال ابن حبان: كان ينفرد
بالمناكير عن المشاهير، قلت: وهو راوي حديث أنس: ما زال رسول الله يقنت في صلاة
الصبح حتى فارق الدنيا.
”Sanadnya
dha’if karena kedhaifan Abu Ja’far ar-Razi, namanya Isa bin Mahan. Ibnu
al-Madini berkata, ’Dia rusak (hapalannya).’ Yahya bin Ma’in berkata, ”Dia
keliru.’ Ahmad berkata, ’Dia tidak kuat dalam hadis.’ Abu Zur’ah berkata, ’Dia
banyak waham.’ Ibnu Hiban berkata, ’Dia menyendiri dengan riwayat-riwayat
munkar dari rawi-rawi masyhur.’ Menurut saya, ’Dia rawi hadis Anas, ’Rasulullah
saw. tidak henti-hentinya qunut pada salat subuh hingga meninggal dunia’.”
Lihat, Tahqiq Siyar A’lam an-Nubala, XIX:51)
Kesimpulan
Hadis Kedua:
Hadis
yang berkaitan dengan doa menyambut Ramadhan tanpa dirangkaikan dengan bulan
Rajab dan Sya’ban kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk
pengamalan.
Karena
itu, kami berkesimpulan bahwa dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan tidak
disyariatkan berdoa secara khusus.
B.
Klasifikasi Hari di Bulan Ramadhan
Terdapat
sejumlah hadis yang menerangkan bahwa hari-hari di Bulan Ramadhan
diklasifikasikan menjadi tiga: Awalnya Rahmat, pertengahannya Maghfirah, dan
akhirnya ‘Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).
Dilihat
dari redaksinya, hadis tentang itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama,
diawali dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُوْلُ
الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ
فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً
وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ
كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً
كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ
الصَّبْرِ وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَشَهْرٌ
يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ
مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ
كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفْطِرُ الصَّائِمَ فَقَالَ يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مَذِقَةِ لَبَنٍ
وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ
النَّارِ…
Dari
Salman, ia berkata, “Pada hari akhir bulan Sya’ban Rasulullah saw. mengkhutbah
kepada kami. Beliau bersabda, ’Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang
agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih
baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban,
dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat). Siapa yang mendekatkan
(melaksanakan) sesuatu kebaikkan (sunnat), maka (pahalanya) seperti (pahala)
bagi orang yang menunaikan kewajiban. Dan siapa yang menunaikan kewajiban,
(pahalanya) seperti (pahala) yang menunaikan kewajiban sebanyak tujuh puluh
kali. Bulan itu adalah bulan (penuh dengan) kesabaran dan bersabar itu
pahalanya adalah surga. Bulan yang penuh dengan kebaikan, bulan yang akan
bertambah rezeki seorang mukmin. Barang siapa memberi makan orang shaum pada
bulan itu, maka hal itu merupakan magfirah bagi dosa-dosanya dan lehernya akan
terlepas dari api neraka, dan baginya (orang yang memberi makan) akan mendapat
pahala seperti pahala yang shaum tanpa terkurangi sedikitpun dari pahalanya
itu. Para sahabat bertanya, ’Kami semua tidak mempunyai sesuatu untuk memberi
makan yang shaum, beliau menjawab,’Allah akan memberi pahala seperti ini kepada
orang yang memberi makan yang shaum walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau
seteguk air, atau sesuatu yang dicampur dengan susu. Dan bulan itu adalah
bulan yang awalnya penuh rahmat, pertengahannya penuh maghfirah dan ahirnya
pembebasan dari neraka… H.r. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,
III:192, No. hadis 1887, al-Baihaqi, Fadha’il al-Awqat, hlm. 43, No.
hadis 40, dan Al-Haitsami, Musnad al-Harits atau Zawa’id al-Haitsami,
I:413, No. 321
Kedudukan
Hadis Pertama
Hadis
ini bersumber dari dua orang rawi, yaitu:
1.
Ali bin Zaid bin Jud’an. Ia adalah Ali bin Zaid bin Abdullah bin Abu Mulaikah.
Namanya Zuhair bin Abdullah bin Jud’an bin Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah al
Qurasyi at Taimi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain:
Abu bakar bin Khuzaimah mengatakan,’Aku tidak berhujjah dengannya karena ia
buruk hafalan”. (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XX: 434-445)
2.
Yusuf bin Ziad an-Nahdi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara
lain, Al Bukhari dan Abu Hatim berkata, ’Munkar al-Hadits (hadisnya
tidak halal diriwayatkan)”. (Lihat, Mizan al-‘Itidal, IV : 465)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Kata
Ibnu Abu Hatim, “Saya bertanya kepada ayah saya tentang hadis…(di atas). Maka
beliau menjawab:
هذا حدِيثٌ مُنكرٌ غلِط فِيهِ عَبدُ
اللهِ بنُ بكرٍ إِنّما هُو أبانُ بنُ أبِي عيّاشٍ فجعل عَبدُ اللهِ بنُ بكرٍ
أبانًا إِياسًا.
“Ini
hadis yang munkar, Abdullah bin Bakr telah melakukan kesalahan di dalamnya,
rawi sebenarnya tiada lain Aban bin Abu ‘Ayyas, lalu Abdullah bin Bakar
menjadikan (mengganti) Aban dengan Iyas.” (Lihat, ‘Ilal al-Hadits, hlm.
289)
Kata
Ibnu Hajar:
رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي (الشُّعَبِ)
مِنْ طُرُقٍ : عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُجْرٍ بِهَذَا
الإِسْنَادِ وَمِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ
السَّهْمِيِّ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ الْغَفَّارِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
زَيْدٍ وَالأَوَّلُ أَتَمُّ وَمَدَارُهُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ
ضَعِيفٌ , وَأَمَّا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ فَضَعِيفٌ جِدًّا وَأَمَّا إِيَاسُ بْنُ
عَبْدِ الْغَفَّارِ فَمَا عَرَفْتُهُ
“Hadisnya
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman melalui beberapa jalur
periwayatan: Dari Ali bin Hujr dengan sanad ini. Dan dari jalur lain: dari
Abdullah bin Bakr as-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid.
Jalur pertama lebih komplit dan porosnya Ali bin Zaid, dan dia daif. Adapun
Yusuf bin Ziyad, maka ia sangat daif. Sedangkan Iyas bin Abdul Ghaffar, maka
aku tidak mengenalnya.” (Lihat, Ittihaf al-Muhirrah bil Fawa’id
al-Mubtakirah min Athraf al-Asyrah, V:560)
Kedua,
tanpa diawali dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَوَّلُ
شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ
النَّارِ.
Dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ’Awal bulan Ramadhan
adalah rahmat, pertengahannya adalah magfirah, dan akhirnya adalah pembebasan
dari neraka”. H.r. Ibnu Adi, al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, IV:325,
Al-Uqaili, Adh-Dhu’afa al-Kabir, III:437, No. hadis 750, Ad-Dailami,
Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:138, No. hadis 79, dan Al-Khathib
al-Baghdadi, Mawdhih Awham al-Jam’I wat Tafriq, II:144, No. hadis 233
Kedudukan
Hadis kedua
Hadis
ini bersumber dari dua orang rawi yang dinyatakan daif, yaitu:
- Maslamah bin As Shlt.
Abu
Hatim berkata, ’Matruk al-Hadits”. (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil,
VIII: 269; Ad-Du’afa wa al- Matrukin, III : 119)
- Salam bin Sawwar.
Nama
lengkapnya Salam bin Sulaiman bin Sawwar, Abul Abbas, as Tsaqafi, al Madain.
Menurut
Abu Hatim, ’Ia rawi yang tidak kuat”. Ibnu Adi berkata, ’Munkar al-Hadits”
(Lihat, Mizan al-I’tidal, II : 178)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Kata
Al-Khathib al-Baghdadi:
وكان ضعيفا في الحديث ومن ضعفه اختلاف
روايته هذا الحديث
“Salam
daif dalam hadis, dan di antara bentuk kedaifannya terdapat ikhtilaf dalam
meriwayatkan hadis ini” (Lihat, Mawdhih Awham al-Jam’I wa at-Tafriq,
II:144)
Kata
Muhammad al-Lakhmi:
إسناده ضعيف جدا والحديث منكر
“Sanadnya
sangat daif, dan hadis itu munkar.” (Lihat, Masyikhah Abi Thahir Ibn Abu
As-Shaqr, hlm. 83)
Kata
Syekh al-Albani, “(Hadis ini) dha’ief jiddan (sangat dhaif).” (Lihat, Shahih
wa Dha’if al-Jami’ as-Shagir wa Ziyadatuhu, hlm. 495)
Dalam
kitabnya yang lain, Syekh al-Albani berkata, “Munkar.” (Lihat, Silsilah
al-Ahadits ad-Dha’iefah wa al-Mawdhu’ah, IV:70)
Kesimpulan:
Hadis
yang berkaitan dengan klasifikasi hari di bulan Ramadhan kedudukannya dhaif dan
tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya klasifikasi itu.
C.
Sya’ban Bulan Nabi dan Ramadhan Bulan Allah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم : شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ الله وَشَهْرُ شَعْبَانَ
شَهْرِي : شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Dari
Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan Allah
dan bulan Sya’ban adalah bulanku. Sya’ban pembersih dan Ramadhan penghapus’.”
HR. Ibnu Asakir, Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, VI:84
Ala’uddin
al-Muttaqi al-Hindi menisbatkan hadis ini riwayat Ad-Dailami, dengan redaksi:
شَعْبَانَ شَهْرِي وَ رَمَضَانَ شَهْرُ
الله وَ شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Sya’ban
adalah bulanku dan Ramadhan bulan Allah, dan Sya’ban pembersih dan Ramadhan
penghapus’.” (Lihat, Kanz al-‘Umal fii Sunan al-Aqwal wa al-Af’al,
XII:323, No. 35.216)
Dalam
penelusuran Ibnu Hajar redaksi hadis versi Ad-Dailami itu selengkapnya sebagai
berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم
: شَعْبَانَ شَهْرِي وَ رَمَضَانَ شَهْرُ
الله وَ شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Dari
Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan
Allah dan bulan Sya’ban adalah bulanku. Sya’ban pembersih dan Ramadhan
penghapus’.” (Lihat, Al-Ghara’ib al-Multaqathah min Musnad al-Firdaws
Mimmaa Laisa fii al-Kutub al-masyhurah:1809, No. 1892)
Kedudukan
Hadis
Hadis
di atas diriwayatkan melalui seorang rawi bernama al-Hasan bin Yahya
al-Khusyani. Dia telah dikritik oleh para ulama, antara lain:
قَالَ أَبُو حَاتِمٍ: صَدُوقٌ، سيئ
الحِفْظ.
Abu
Hatim berkata, “Shaduq, buruk hapalan.”
قال النَّسَائيّ وغيره: لَيْسَ بثقة.
An-Nasai
dan lainnya berkata, “Ia tidak tsiqah.”
قال الدّارَقُطْنيّ: متروك.
Ad-Daraquthni
berkata, “Ia Matruk.”
وقال ابن مَعِين: لَيْسَ بشيء.
Ibnu
Ma’in berkata, “Ia sama sekali tidak bernilai.”
(Lihat,
Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, IV:1091, No. rawi
68)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Syekh
Abdul Ra’uf al-Munawi berkata:
وفيه الحسن بن يحيى الخشني قال الذهبي :
تركه الدارقطني
“Pada
sanadnya terdapat rawi al-Hasan bin Yahya al-Khusyani. Adz-Dzahabi berkata,
‘Dia dinilai matruk oleh ad-Daraquthni.” (Lihat, Faidh al-Qadier,
XIV:405)
As-Suyuti
berkata:
ابن عساكر عن عائشة وسنده ضعيف
“Diriwayatkan
oleh Ibnu Asakir dari Aisyah, dan sanadnya dha’if.” (Lihat, Jami’ al-Ahadits
al-Kabir, I:13.580)
Kata
Syekh al-Albani, “(Hadis itu) mawdhu’ (palsu).” (Lihat, Shahih wa
Dha’if al-Jami’ ash-Shagir, III:281)
Kesimpulan:
Hadis
yang berkaitan dengan keutamaan bulan Ramadhan seperti di atas kedudukannya
dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya keutamaan seperti
itu.
D.
Umat Islam diberi 5 Keutamaan Pada Bulan Ramadhan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيَتْ أُمَّتِي خَمْسَ
خِصَالٍ فِي رَمَضَانَ لَمْ تُعْطَهَا أُمَّةٌ قَبْلَهُمْ خُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ
الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُفْطِرُوا وَيُزَيِّنُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلَّ يَوْمٍ
جَنَّتَهُ ثُمَّ يَقُولُ يُوشِكُ عِبَادِي الصَّالِحُونَ أَنْ يُلْقُوا عَنْهُمْ
الْمَئُونَةَ وَالْأَذَى وَيَصِيرُوا إِلَيْكِ وَيُصَفَّدُ فِيهِ مَرَدَةُ
الشَّيَاطِينِ فَلَا يَخْلُصُوا إِلَى مَا كَانُوا يَخْلُصُونَ إِلَيْهِ فِي
غَيْرِهِ وَيُغْفَرُ لَهُمْ فِي آخِرِ لَيْلَةٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهِيَ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ قَالَ لَا وَلَكِنَّ الْعَامِلَ إِنَّمَا يُوَفَّى أَجْرَهُ
إِذَا قَضَى عَمَلَهُ
Dari
Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada bulan Ramadhan
umatku diberi lima hal (keutamaan) yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya;
(1) bau mulut orang yang shaum lebih harum di sisi Allah dari pada minyak
kesturi, (2) para malaikat memintakan ampunan untuk mereka hingga berbuka, (3)
pada setiap harinya Allah Azza Wa Jalla menghiasi surga mereka, kemudian Allah
berfirman, 'hampir saja para hamba-Ku yang shalih dihindarkan dari kepayahan
dan gangguan dan berjalan kepadamu (surga).' (4) dan di dalam bulan Ramadhan
para setan dibelenggu hingga mereka tidak bebas menggoda orang yang shaum
sebagaimana mereka bebas mengganggu selainnya, (5) dan akan diampuni dosa-dosa
mereka (orang yang shaum) di akhir malam bulan Ramadhan.’ Para sahabat
bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah itu pada lailatul qadar?’ Rasulullah saw.
bersabda, "Tidak, akan tetapi seorang yang beramal akan ditepati pahalanya
jika telah selesai melaksanakan amalannya." HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
II:292, No. 7904; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:219, No. 3330, Fadha’il
al-Awqat:41, No. 38; Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, VIII:12;
Ibnu Syahin, Fadha’il Syahr Ramadhan:28, No. 26
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua
jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Yazid bin Harun,
dari Hisyam bin Abu Hisyam, dari Muhammad bin Muhamad bin al-Aswad, dari Abu
Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Huraerah.
Dengan
demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq
(benar-benar tunggal).
Hadis
di atas sangat dhaif dengan sebab kedaifan rawi Hisyam bin Abu Hisyam, nama
lengkapnya Hisyam bin Ziyad bin Abu Yazid al-Qurasyi Abu al-Miqdam bin Abu
Hisyam al-Madani. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Imam Ahmad.
وقال النسائي، وغيره: متروك.
An-Nasai
dan lainnya berkata, ‘Dia matruk”
وقال ابن حبان: كان يروي الموضوعات عَنِ
الثِّقَاتِ.
Ibnu
Hiban berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para rawi tsiqah
(kredibel).” (Lihat, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam,
IV:533, No. rawi 418)
وقال ابن حجر متروك من السادسة
Ibnu
Hajar berkata, “Dia Matruk, thabaqat (generasi) ke-6.” (Lihat, Taqrib
at-Tahdzib, I:572, no. rawi 7292)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Al-Haitsami
berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبَزَّارُ وَفِيهِ
هِشَامُ بْنُ زِيَادٍ أَبُو الْمِقْدَامِ وَهُوَ ضَعِيفٌ.
“Hadisnya
diriwayatkan oleh Ahmad al-Bazzar, dan pada sanadnya terdapat rawui Hisyam bin
Ziyad Abu al-Miqdam, dan dia dhaif.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, III:140)
Syekh
Al-Albani berkata:
ضَعِيفٌ جِدَّاً
“(Sanadnya)
sangat dhaif.” (Lihat, Dha’ief At-Targhib wa at-Tarhib, I:586)
Syekh
Syu’aib al-Arnauth berkata:
إسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدَّاً
“Sanadnya
sangat dhaif.” (Lihat, Ta’liq ‘ala Musnad Ahmad, II:292)
Kesimpulan:
Hadis
yang berkaitan dengan “paket 5 keutamaan” di bulan Ramadhan seperti di atas
kedudukannya sangat dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan
adanya keutamaan seperti itu.
Sementara
keterangan tentang keutamaan “bau mulut orang yang shaum lebih harum di sisi
Allah dari pada minyak kesturi” kita peroleh dari hadis lain yang shahih secara
terpisah, sebagai berikut:
Pertama,
dengan redaksi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ إِنَّ الصَّوْمَ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ إِنَّ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَيْنِ إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا
لَقِيَ اللَّهَ فَرِحَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Dari
Abu Hurairah dan Abu Sa'id Ra, keduanya berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
‘Sesungguhnya Allah 'azza wajalla telah berfirman, 'Shaum itu adalah bagi-Ku,
dan Akulah yang akan memberinya pahala.' Bagi seorang yang shaum, maka baginya
ada dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan saat ia berbuka dan ketika ia berjumpa
dengan Allah. Demi Dzat yang jiwa Muhmmad berada di tangan-Nya, bau mulut orang
yang shaum adalah lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak
kesturi’." HR. Muslim, Shahih Muslim, II:807, No. 1151; Ahmad, Musnad
Ahmad, III:5, No. 11.022; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid,
I:288, No. 921; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, II:286, No. 1005; Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:198, No. 1900; Al-Baihaqi, As-Sunan
al-Kubra, IV:273, No. 8117; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,
VIII:232, No. 8492.
Sementara
An-Nasai meriwayat hadis itu melalui Abu Sa’id, tanpa disertai Abu Huraerah.
(Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:90, No. 2523 dan Sunan an-Nasai
al-Mujtaba, IV:162, No. 2213). Selain itu, juga meriwayatkan dari Ali bin
Abu Thalib dengan sedikit perbedaan redaksi. (As-Sunan al-Kubra, II:90,
No. 2521). Kemudian at-Thabrani meriwayatkan pula hadis itu dari Ibnu Mas’ud
(Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, X:98, No. 10.078)
Kedua,
dengan redaksi
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Dari
Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Shaum itu perisai, maka
(orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan
pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau
menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang
sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta'ala dari pada harumnya minyak
kesturi, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya
karena Aku. Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan
setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa". HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:670, No. 1795.
Hadis
di atas diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dengan redaksi sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ يَقُولُ كُلُّ
حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَالصَّوْمُ لِي
وَأَنَا أَجْزِي بِهِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ وَلَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَإِنْ جَهِلَ عَلَى
أَحَدِكُمْ جَاهِلٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
Dari
Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Rabb kalian
berfirman, ‘Setiap kebaikan diberi pahala sebanyak sepuluh kali lipat hingga
tujuh ratus kali lipat, sedangkan hsum diperuntukkan untuk-Ku dan Aku sendiri
yang akan memberi pahala shaumnya (tanpa batasan jumlah pahala), shaum
merupakan perisai dari api neraka, dan bau mulut orang yang shaum lebih wangi
di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi dan jika orang jahil mengajak
bertengkar kepada salah seorang di antara kalian padahal dia sedang shaum, maka
katakanlah sesungguhnya saya sedang shaum’." HR. At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, III:136, No. 764
Hadis
di atas diriwayatkan pula oleh An-Nasai dari Aisyah dengan perbedaan redaksi
(Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:240, No. 3258 dan Sunan an-Nasai
al-Mujtaba, IV:167, No. 2234).
Adapun
keterangan tentang para setan dibelenggu di bulan Ramadhan kita peroleh
dari hadis lain yang shahih secara terpisah, sebagai sebagai berikut:
Pertama,
dengan kalimat Shufidat as-Syaathiin
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أَوَّلُ
لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ ،
وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِّحَتْ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا
بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَلِلَّهِ
عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Dari
Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam pertama bulan
Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka
ditutup, tidak ada satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka,
tidak ada satupun pintu yang tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang
mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan
keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api
neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’." HR. At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, III:67, No. 682; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:126, No.
2097; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No. 1642; Malik, al-Muwatha,
I:311, No. 684; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:304, No. 8284;
Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:42, No. 1775; Ibnu Hiban, Shahih
Ibnu Hiban, VIII:222, No. 3435; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,
III:188, No. 1882; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:582, No.
1532; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XVII:133, No. 326, Al-Mu’jam
al-Awsath, II:157, No. 1563, dengan sedikit perbedaan redaksi.
Kedua,
dengan kalimat Sulsilat as-Syaathiin
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ
أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
Dari
Ibnu Syihab, ia berkata, “Ibnu Abu Anas mawla at-Taymiyyiin telah mengabarkan kepada
saya, bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah
Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila bulan Ramadhan datang, maka
pintu-pintu langit dibuka sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan
dibelenggu". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:672, No. 1800.
Al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi: “Futihat abwaab al-jannah
(dibuka pintu-pintu surga).” (Lihat, Shahih Al-Bukhari, III:1194, No.
3103)
Hadis
di atas diriwayatkan pula oleh:
- An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:128, No. 2101;
- Ahmad, Musnad Ahmad, II:281, No. 7767, dan Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:420, No. 1439 dengan kalimat “Futihat abwaab ar-Rahmah”
- Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:303, No. 8283
- Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:221, No. 3434
- Ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyiin, I:69, No. 82
Ketiga,
dengan kalimat Tughallu fiihi as-Syaathiin
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا
حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ
جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ
تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ
وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ
حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ
Dari
Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw.
bersabda, ‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah,
padanya Allah mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar
dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan
Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa
tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan."
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf,
II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418, No.
1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1
Hadis
di atas diriwayatkan pula oleh an-Nasai dengan kalimat:
وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ
“dan
setan-setan pembangkang dibelenggu” (Lihat, as-Sunan al-Kubra, II:66,
No. 2416, Sunan an-Nasai, IV:129, No. 2106)
E. Bulan
Ramadhan “Raja” Semua Bulan
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَيِّدُ الشُّهُورِ
شَهْرُ رَمَضَانَ وَأَعْظَمُهَا حُرْمَةً ذُو الْحِجَّةِ
Dari Abu
Sa’id al-Khudriyi, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Pemimpin bulan
adalah bulan Ramadhan dan yang paling agung kehormatannya adalah Dzulhijjah’.”
HR. Al-Baihaqi, Syu’ab
al-Iman, V:310, No. hadis 3479; Al-Bazzar, Kasyf al-Astar ‘An Zawa’id
al-Bazzar ‘ala al-Kutub as-Sittah, I:369; Ibnu Asakir, Mukhtashar Tarikh Ibnu Asakir,
XI:357
Al-Baihaqi
meriwayatkan pula dengan redaksi:
سَيِّدُ الشُّهُورِ شَهْرُ رَمَضَانَ
“‘Pemimpin
bulan adalah bulan Ramadhan.” (Lihat, Syu’ab
al-Iman, V:242, No. hadis 33640
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua
jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Khalid bin
Yazid, dari Yazid bin Abdul Malik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Atha bin
Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudriyi.
Dengan
demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).
Hadis di
atas dhaif dengan sebab kedaifan rawi Yazid bin Abdul Malik. Nama lengkapnya
Yazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah, Abu Nawfal an-Nawfaliy. Dia didaifkan
oleh para ahli hadis, antara lain Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if al-Hadits.”
Ahmad berkata, “Munkar
al-Hadits.” Abu Hatim berkata, “Dha’if
al-Hadits, Munkar al-Hadits jiddan.” Abu Zur’ah berkata, “Munkar al-Hadits.”
Al-Bukhari berkata, “Ahaditsuhu
syibh laa sya’ia.” An-Nasai berkata, “Matruk al-Hadits.” (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil,
IX:279; At-Tarikh
al-Kabir, VIII:348; Mizan
al-I’tidal, VII:245; Tahdzib
al-Kamal, XXXII:196-200)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Al-Baihaqi
berkata:
فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ
“Padanya
terdapat kedhaifan.” (Lihat, Syu’ab
al-Iman, V:242)
Ibnu Rajab
al-Hanbali berkata:
وفي إسناده مقال
“Pada
sanadnya terdapat perbincangan.” (Lihat, Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VI:122)
Syekh
al-Albani berkata:
وهذا إسناد ضعيف يزيد بن عبد الملك - وهو
النوفلي - قال الحافظ في التقريب : "ضعيف"
“Dan ini
sanad yang dhaif, Yazid bin Abdul Malik, dia An-Nawfali, Ibnu Hajar berkata
dalam kitabnya Taqrib
at-Tahdzib, ‘Dia dhaif’.” (Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah,
VIII:205)
Kesimpulan:
Hadis yang
menunjukkan bahwa Ramadhan sebagai “raja” semua bulan kedudukannya dhaif.
Karena itu, tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan akan hal itu.
F. Harapan
Ramadhan terjadi sepanjang Tahun
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ : سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَاتَ يَوْمٍ وَقَدْ
أَهَلَّ رَمَضَانُ: لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا رَمَضَانُ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي
أَنْ يَكُونَ السَّنَةَ كُلَّهَا ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ : يَا نَبِيَّ
اللَّهِ ، حَدِّثْنَا ، فَقَالَ : إِنَّ الْجَنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ
رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ ، فَإِذَا كَانَ أَوَّلُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ
هَبَّتْ رِيحٌ مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ ، فَصَفَقَتْ وَرَقَ الْجَنَّةِ ، فَتَنْظُرُ
الْحُورُ الْعِينُ إِلَى ذَلِكَ ، فَيَقُلْنَ : يَا رَبِّ اجْعَلْ لَنَا مِنْ عِبَادِكَ فِي هَذَا الشَّهْرِ
أَزْوَاجًا تُقِرُّ أَعْيُنَنَا بِهِمْ ، وَتُقِرُّ أَعْيُنَهُمْ بِنَا قَالَ :
فَمَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ إِلاَّ زُوِّجَ زَوْجَةً مِنَ
الْحُورِ الْعِينِ فِي خَيْمَةٍ مِنْ دُرَّةٍ مِمَّا نَعَتَ اللَّهُ : {حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ}
[الرحمن] عَلَى كُلِّ امْرَأَةٍ سَبْعُونَ حُلَّةً ، لَيْسَ مِنْهَا حُلَّةٌ عَلَى
لَوْنِ الأُخْرَى ، تُعْطَى سَبْعُونَ لَوْنًا مِنَ الطِّيبِ ، لَيْسَ مِنْهُ
لَوْنٌ عَلَى رِيحِ الآخَرِ ، لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ سَبْعُونَ أَلْفَ
وَصِيفَةٍ لِحَاجَتِهَا ، وَسَبْعُونَ أَلْفَ وَصِيفٍ...
Dari Abu
Ma’sud, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda pada suatu hari
dan hilal bulan Ramadhan telah terlihat, ‘Sekiranya para hamba mengetahui apa
Ramadhan itu niscaya umatku berharap bulan Ramadhan sepanjang tahun.” Maka
seorang laki-laki dari Khuza’ah berkata, ‘Wahai Nabi Allah, ceritakanlah kepada
kami.’ Maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya surga itu pasti berhias untuk bulan
Ramadhan dari penghujung tahun hingga tahun. Apabila pada hari pertama bulan
Ramadhan angin berhembus dari bawah Arsy, lalu daun surga bergoyang, maka mata
yang jelita memandang kepada hal itu. Lalu ia berkata, ‘Wahai Tuhanku,
jadikanlah bagi kami di antara hamba-hamba-Mu pada bulan ini pasangan yang
menyejukan mata kami dan mata mereka.’ Nabi bersabda, “Maka tidak ada seorang
hamba pun yang shaum satu hari di bulan Ramadhan kecuali ia diberi pasangan
yang bermata jelita (dipingit) di dalam rumah yang terbuat dari mutiara
sebagaimana disebutkan sifatnya Allah: ‘(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih
bersih, dipingit dalam rumah. (QS. Ar-Rahman:72)
Setiap
perempuan mengenakan 70 pakaian yang berbeda-beda warna dan aromanya dan setiap
perempuan memiliki 1000 dayang (gadis pelayan) dan 70.000 bujang yang melayani
kebutuhannya…HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih
Ibnu Khuzaimah, III:190-191, No. 1886; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman,
V:239, No. 3362.
Hadis di
atas diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la (Lihat, Musnad Abu Ya’la, V:125, No. 5273),
al-Mundziri (Lihat, at-Targhib
wa at-Tarhib, II:355, No. 1765) Ibnu al-Jauzi (Lihat, Al-Mawdhu’at,
II:188-189) dan Abu Sa’id as-Syasyi (Lihat, al-Musnad
as-Syasyi, II:410, No. 787), namun tercatat bersumber dari sahabat
Ibnu Mas’ud, bukan Abu Mas’ud.
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua
jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Jarir bin Ayyub
al-Bajali, dari Asy-Sya’bi, dari Nafi bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari
(atau Ibnu Mas’ud versi riwayat lainnya).
Dengan
demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).
Hadis di atas
sangat dhaif dengan sebab kedaifan rawi Jarir bin Ayyub al-Bajali. Dia
didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Al-Bukhari berkata, “Munkar
al-Hadits.” Abu Nu’aim, “Kaana
yadha’ul hadits (dia memalsukan hadis).” An-Nasai berkata, “Matruk.” (Lihat, Mizan al-I’tidal,
II:116)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Al-Haitsami
berkata:
رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ جَرِيرُ
بْنُ أَيُّوبَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ
“Hadisnya
diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan pada sanadnya terdapat rawi Jarir bin Ayyub,
dan dia dhaif.” (Lihat, Majma’
az-Zawa’id, III:141)
Ibnul Jawzi
berkata:
هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله
عليه وسلم، والمتهم به جرير ابن أيوب.
“Ini adalah
hadis palsu atas nama Rasulullah saw., dan rawi yang tertuduh dengan pemalsuan
itu adalah Jarir Ibnu Ayyub.” (Lihat, Al-Mawdhu’at,
II:188)
Penilaian
yang sama disampaikan pula oleh as-Suyuthi (Lihat, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-ahadits
al-Mawdhu’ah, II:85), Asy-Syawkani (Lihat, al-Fawa’id al-Majmu’ah fi
al-Ahadits al-Mawdhu’ah:88) dan Syekh al-Albani (Lihat, Dha’if at-Targhib wa
at-Tarhib, I:149)
Kesimpulan:
Hadis yang
berkaitan dengan harapan bahwa Ramadhan terjadi selama setahun karena terdapat
berbagai keutamaan seperti disebutkan di atas kedudukannya sangat dhaif, bahkan
cenderung palsu, dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya
keutamaan seperti itu.
G.
Diperintah Shaum agar Sehat
Redaksi yang
populer tentang perintah shaum agar sehat adalah sebagai berikut:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Shaumlah
kalian, niscaya kalian akan sehat.”
Menurut
‘Alaa ad-Din al-Muttaqi al-Hindi, redaksi ini diriwayatkan oleh Ibnu As-Sunni
dan Abu Nu’aim dalam kitab ath-Thib,
dari Abu Huraerah. (Lihat, Kanz
al-‘Ummal fii Sunan al-Aqwal wa al-‘Af’al, VIII:450)
Hadis di
atas diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dengan redaksi yang agak panjang
sebagai berikut:
اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا
وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا
“Berperanglah
kalian, niscaya kalian akan mendapat ghanimah (harta rampasan), dan shaumlah
kalian, niscaya kalian akan sehat, serta bepergianlah niscaya kalian akan
menjadi kaya.” HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam
al-Kabir, XIX:497, No. 1190, al-Mu’jam
al-Awsath, VIII:174, No. 8312
Sementara
dalam riwayat al-‘Uqaili dengan redaksi:
اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا
وَسَافِرُوا تصحوا تَصِحُّوا
“Berperanglah
kalian, niscaya kalian akan mendapat ghanimah (harta rampasan), dan shaumlah
kalian, niscaya kalian akan sehat, serta bepergianlah niscaya kalian akan
sehat.” (Lihat, Adh-Dhu’afa
al-Kabir, III:204, No. 641
Hadis di
atas diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Addi dari Ali bin Abu Thalib, dengan redaksi:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Shaumlah
kalian, niscaya kalian akan sehat.” (Lihat, al-Kamil
fii Dhu’afa ar-Rijal, VI:411)
Kedudukan
Hadis
Meski
diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua
jalur periwayatan hadis Abu Huraerah itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu
Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin
Abu Shalih, dari Abu Shalih, dari Abu Huraerah.
Sedangkan
jalur periwayatan hadis Ali itu melalui rawi Abu Bakar bin Abu Uwais, dari
Husen bin Abdullah bin Dhamirah, dari Abdullah bin Dhamirah, dari Ali bin Abu
Thalib.
Hadis Abu
Huraerah di atas dhaif dengan sebab kedaifan dua rawi:
Pertama,
Zuhair bin Muhammad al-Anbari al-Khurasani.
Dia dhaif
jika hadisnya diriwayatkan oleh orang-orang dari Syam. Yahya bin Ma’in
berkata, “Khurasani dha’if.”
An-Nasai berkata, “Laisa
bil Qawiyy.” Abu Hatim berkata, “Mahalluhu
as-Sidq (Kedudukannya jujur) fi
hifzhihi Su’ (buruk pada hapalannya), dan hadisnya di negeri Syam
diingkari dibandingkan dengan hadisnya di Irak, karena dia buruk hapalan.”
Imam al-Bukhari berkata, “Diriwayatkan darinya oleh orang-orang Syam
hadis-hadis munkar.” Ibnu Adi berkata, “Barangkali ketika orang-orang Syam
meriwayatkan darinya mereka keliru atas hadisnya. Maka apabila diriwayatkan
darinya oleh orang-orang Irak, riwayat-riwayat mereka menyerupai riwayat yang
lurus.” (Lihat, Siyar
A’lam an-Nubala, VIII:188, Al-Kamil
fii Dhu’afa ar-Rijal, IV:177, al-Jarh
wa at-Ta’dil, III:590, At-Tarikh
al-Kabir, III:427, Tahdzib
al-Kamal, IX:414)
Berdasarkan
penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat memastikan bahwa hadis Abu
Huraerah di atas dha’if karena diriwayatkan dari Zuhair oleh orang Syam, Yaitu
Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud.
Kedua,
Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud. Kata Abu Hatim, “Dia munkar al-Hadits.”
(Lihat, al-Jarh
wa at-Ta’dil, VIII:267)
Adapun
kedudukan hadis Ali di atas sangat dhaif dengan sebab
kedaifan rawi Husen bin Abdullah bin Dhamirah, dia rawi tertuduh dusta. Karena
itu Ibnu Addi mengkategorikan hadis ini sebagai bagian dari hadis-hadis munkar
Husen. (Lihat, al-Kamil
fii Dhu’afa ar-Rijal, II:357)
Penilaian
Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Imam
al-‘Iraqi berkata:
رواه الطبراني في الأوسط وأبو نعيم في
الطب النبوي من حديث أبي هريرة بسند ضعيف
“Hadis itu
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath dan Abu Nu’aim dalam ath-Thib an-Nabawi
dari hadis Abu Huraerah dengan sanad yang dha’if.” (Lihat, Takhrij Ahadits Ihya ‘Ulum
ad-Din, IV:1606)
Asy-Syawkani
berkata:
حديث صوموا تصحوا قال الصغاني موضوع وقال
في المختصر ضعيف
“Hadis
shaumlah kalian niscaya kalian akan sehat, ash-Shaghani berkata, ‘Mawdhu’
(palsu)’, dan ia berkata pada al-Mukhtashar, ‘Dha’if’.”” (Lihat, Al-Fawa’id al-Majmu’ah fii al-Ahadits
al-Mawdhu’ah:90)
Syekh
al-Albani berkata, “Dha’ief.” (Lihat, Silsilah
al-Ahadits adh-Dha’iefah wa al-Mawdhu’ah, I:420)
F. Berdoa
ketika berbuka shaum
Redaksi doa
yang populer di sebagian kaum muslimin ketika berbuka shaum adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ
وَعَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ برحمتك ياأرحم الراحمين
Sejauh
penelitian kami, hampir selama 15 tahun, redaksi di atas tidak didapatkan
sumber asalnya, sehingga tidak jelas riwayat siapa.
Adapun
redaksi yang ditemukan sumber dan periwayatnya adalah sebagai berikut:
Pertama:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ
بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ
قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Artinya:
"Ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku
berbuka," H.r. Abu Daud dari Mu’az bin Zuhrah. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Dawud,
II:528, No. 358, Al-Marasil:124,
No. 99; Al-Baghawi, Syarh
as-Sunnah, VI:265, No. 1741; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra,
IV:239; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf,
II:511.
Kedudukan
Hadis
Muadz bin
Zuhrah bukan seorang sahabat melainkan seorang tabi'in, sebagaimana diterangkan
oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (Lihat, Tahdzib
at-Tahdzib, VIII:224) Karena itu hadis ini dikategorikan dhaif mursal,
yaitu seorang tabi’in meriwayatkan secara langsung dari Nabi saw. tanpa melalui
shahabat, padahal ia tidak sezaman dengan Nabi saw.
Sehubungan
dengan itu, Abu Dawud mengelompokkan hadis itu dalam himpunan hadis-hadis mursal. (Lihat, Al-Marasil:124,
No. 99)
Kedua:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَلِكٍ قَالَ: كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: بِسْمِ
اللهِ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Anas
bin Malik, ia mengatakan, 'Rasulullah saw. apabila berbuka shaum mengucapkan,
Dengan nama Allah, ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki
Engkaulah aku berbuka, " H.r. At-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsath, VIII:270.
Kedudukan
Hadis
Hadis ini
dhaif, bahkan dikategorikan sebagai hadis maudhu'
(palsu). Dan kalaupun tidak termasuk hadis maudhu' hadis
matruk sudah tentu. Karena pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Dawud
bin Az-Zibirqan. Menurut Ya'qub bin Syu'bah dan Abu Zur'ah, "ia itu matruk (tertuduh
dusta)". Sedangkan Ibrahim bin Ya'qub al-Jurjani mengatakan, "Kadzdzab
(pendusta)" (Lihat, Tahdzib
al-Kamal, XIII:394-395).
Kata Ibnu
Hajar, “Dan sanadnya dha’if, pada sanadnya terdapat Dawud bin Az-Zibirqan, dia matruk.” (Lihat, at-Talkhish al-Habir,
II:802)
Kata Al-Haitsami,
“Diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Awsath, dan pada sanadnya terdapat Dawud bin Az-Zibirqan, dia dha’if.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id,
III:159)
Ketiga:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قال :كَانَ
النَّبِىُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : لَكَ صُمْتُ
وَعَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيمُ
Dari Ibnu
Abas, ia berkata, "Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan : Hanya karena
Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkau aku berbuka. Maka terimalah dariku
karena sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui," H.r.
Ath-Thabrani, Al-Mu'jam
al-Kabir, XII:146
Kedudukan
Hadis
Hadis ini
juga dhaif bahkan palsu, karena terdapat seorang rawi bernama Abdul Malik
bin Harun. Abu Hatim berkata, "Ia itu matruk,
menghilangkan hadis". Yahya bin Main mengatakan, "Ia itu kadzdzab
(pendusta)". Ibnu Hiban mengatakan, "Ia itu membuat hadis
palsu". (Lihat, Lisan
al- Mizan, IV:71).
Kesimpulan
Karena
redaksi-redaksi doa di atas bersumber dari para rawi yang sangat dha’if
(pendusta dan pemalsu hadis), maka tidak layak dijadikan landasan syariat.
Dengan perkataan lain, tidak layak digunakan sebagai doa berbuka shaum, karena
tidak akan berfaidah.
Adapun yang
layak dijadikan landasan syariat adalah hadis sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ
وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ –
Dari Ibnu
Umar, sesungguhnya Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan "Telah hilang
dahaga, terbasahi tenggorokan, dan telah ditetapkan pahala insya Allah,"
H.r. Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, II:306, No. hadis 2357, an-Nasai, as-Sunanul Kubra,
II:255, VI:82, al-Baihaqi, as-Sunan
al-Kubra, IV:239, al-Hakim, al-Mustadrak
‘ala ash-Shahihain, I:584, dan ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni,
II:185
Kedudukan
Hadis
Kata Imam
ad-Daraquthni, “Sanad hadis ini hasan” (Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II:185)
Demikian pula penilaian Syekh al-Albani. (Lihat, Irwa al-Ghalil, IV:39)
Karena hadis
hasan dapat digunakan sebagai hujah dalam hukum dan ibadah, maka redaksi doa
inilah yang layak digunakan sebagai doa berbuka shaum, karena akan berfaidah
pahala. (Lihat, Tahdzir
al-Khillan Min Riwayah al-Ahadits adh-Dha’iefah Hawla Ramadhan:82)
Demikian
beberapa contoh hadis dhaif yang berhubungan dengan bulan Ramadhan dan shaum di
bulan itu. Semoga bermanfaat dalam meneguhkan keyakinan dan meluruskan
pengamalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami hanya menjawab KOMENTAR yang menuju PERBAIKAN