PEMUDA PERSATUAN ISLAM HARJAMUKTI

بسم الله الر حمن الر حيم
! انا مسلم قبل كل شيئ
AHLAN WA SAHLAN, IKHWATU IMAN

SEMOGA KITA SEMUA DALAM RAHMAT DAN LINDUNGAN ALLAH AZZA WAJALLA


Sabtu, 03 Agustus 2013

HADIS-HADIS DHA’IF SEPUTAR RAMADHAN



HADIS-HADIS DHA’IF SEPUTAR RAMADHAN
Pendahuluan

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur'an, semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.

Hadis mengenal istilah shahih, hasan, dhaif bahkan mawdhu’ (palsu) yang menunjukkan derajat statusnya. Hal demikian itu berarti menghendaki kita memperlakukan hadis secara berbeda sesuai dengan statusnya, sehingga dalam kaitan hadis kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya. Kualitas dari hadis ini akan berpengaruh pada pengambilan hadis, baik dalam pijakan hukum Islam maupun bidang lainnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an tidak lagi perlu dilakukan penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya. sedangkan hadis perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya dengan diadakan penelitian, dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadis ini memang benar dari Nabi Muhammad dan bukan hadis yang palsu. Penelitian ini bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian kita dalam pengambilan dasan hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.

Dari pentingnya permasalahan ini maka muncullah berbagai macam kritik atas hadis dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadis. Dalam ilmu hadis tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi.

Kriteria Hadis Shahih

Untuk menentukan sahih dan tidaknya suatu hadis yang diriwayatkan, para ahli hadis umumnya menetapkan kriteria sebagai berikut:

a)  diriwayatkan dengan sanad muttashil.
Maksudnya setiap rawi yang ikut ambil bagian dalam periwayatan, bertemu dan menerima langsung apa yang diriwayatkannya itu dari gurunya (Lihat, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis, Dar el-Fikr, 1996, hal. 242)

b)  rawi-rawinya ‘adl dan dhabt.
  •  ‘adl atau ‘adalah
Menurut Dr. ‘Ajaj al-Khatib,
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِي النَّفْسِ تَحْمِلُ صَاحِبَهَا عَلَى مُلاَزَمَةِ التَّقْوَى وَالْمُرُوْءَةِ فَتَحْصُلَ ثِقَةُ النَّفْسِ بِصِدْقِهِ وَيُعْتَبَرُ فِيْهَا الإِجْتِنَابُ عَنِ الْكَبَائِرِ وَعَنْ بَعْضِ الصَّغَائِرِ
“Sifat yang melekat pada jiwa, yang akan membawa (pemiliknya) kepada ketetapan taqwa dan muru’ah secara menyeluruh, hingga memperoleh kredibilitas karena kejujurannya, dan dalam hal ini diperhatikan pula meninggalkan dosa-dosa besar serta sebagian dosa kecil…” (Lihat, Ushul al-Hadis, Dar al-Ma’arif, 1985, hal. 231-232. Bandingkan dengan  Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dar el-Fikr, t.t., hal. 51; Dr. M. Azami, Manhaj al-Naqad ‘Inda al-Muhadditsin, Maktabah al-Kautsar, Mekah, 1990, hal.24) 
Menurut Dr. Nur al-Din ‘Itr,
مَلَكَةٌ تَحْمِلُ صَاحِبَهَا عَلَى التَّقْوَى وَاجْتِنَابِ الأَدْنَاسِ وَمَا يُخِلُّ بِالْمُرُوْءَةِ عِنْدَ النَّاسِ
“Tabiat yang membawa pemiliknya kepada taqwa, meninggalkan dosa, dan perilaku yang dapat merusak muru’ah menurut manusia”. (Lihat, Manhaj al-Naqd, op.cit. hal. 79) 
Menurut Al-Sarkhasi (W. 490 H/1096 M),
ثُمَّ العَّدَالَةُ نَوْعَانِ ظَاهِرَةٌ وَبَاطِنَةٌ فَالظَاهِرَةُ تَثَبَتْ بِالدِّيْنِ وَالْعَقْلِ عَلَى مَعْنًى أَنَّ مَنْ أَصَابَهَا فَهُوَ عَدْلٌ ظَاهِرًا لأَنَّهُمَا يَحْمِلاَنِهِ عَلَى الإِسْتِقَامَةِ وَيَدْعُوَانِهِ إِلَى ذلِكَ وَالْبَاطِنَةٌ لاَ تُعْرَفُ إِلاَّ بِالنَّظَرِ فِي مُعَامَلاَتِ الْمَرْءِ وَلاَ يُمْكِنُ الْوُقُوْفُ عَلَى نِهَايَةِ ذلِكَ لِتَفَاوُتٍ بَيْنَ النَّاسِ فِيْهِمَا وَلكِنْ كُلُّ مَنْ كَانَ مُمْتَنِعًا مِنِ ارْتِكَابِ مَا يَعْتَقِدُ الْحُرْمَةَ فِيْهِ فَهُوَ عَلَى طَرِيْقِ الإِسْتِقَامَةِ فِي حُدُوْدِ الدِّيْنِ
“…kemudian ’adalah itu ada dua macam, zhahir (kongkret) dan batin (abstrak). ‘Adalah secara lahiriah ditetapkan oleh agama dan akal, dengan pengertian orang yang mencapainya berarti ‘adil secara lahiriah. Karena agama dan akal itu akan membawa dan menyerunya kepada sikap istiqamah. Sedangkan ‘adalah secara batin tidak dapat diketahui kecuali dengan memperhatikan pergaulannya dan tidak mungkin diketahui batasan hal itu karena berbeda-beda di antara manusia. Akan tetapi setiap orang yang dapat menahan diri dari melakukan sesuatu yang diyakini keharamannya, maka dia berada pada jalan istiqamah dalam batas-batas agama” (Lihat, Ushul al-Sarkhasi, Dar el-Ma’rifah, Beirut, 1373 H, I:350-351)

Untuk memenuhi kriteria ‘adalah ini diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
(a)  Muslim
Seorang perawi disyaratkan beragama Islam, karena ia menyampaikan kabar-kabar yang membenarkan ketetapan hukum syara‘, sedangkan orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin dalam urusan agama, dan permusuhan itu telah mendorong mereka untuk berusaha menghancurkan ajaran Islam dengan cara memasukkan sesuatu yang bukan daripadanya dan menisbahkannya kepada Rasulullah saw. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمْ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu anggap sebagai sahabat karib lain daripada (golongan) kamu; mereka tidak putus-putus (berikhtiar) menarik kecelakaan atas kamu; mereka suka apa yang menyusahkan kamu; sesungguhnya kebencian telah terbit dari mulut mereka; tetapi apa yang disembunyikan hati mereka, ada lebih besar. Kami telah menerangkan tanda-tanda kepada kamu, jika kamu (mau) berfikir.” Q.s. Ali ‘Imran [3]:118
Beragama Islam dijadikan syarat rawi ketika menyampaikan hadis, bukan ketika menerimanya. Karena itu riwayat dari sahabat Jubair bin Muth‘im (W. 59 H/678 M) yang mengatakan bahwa ia mendengar Nabi saw. membaca surah al-Thur pada waktu salat maghrib, dapat diterima walaupun ketika itu Jubair belum masuk Islam.

(b)  Baligh
Seorang perawi disyaratkan baligh ketika menyampaikan hadis bukan ketika menerimanya. Yang dimaksud dengan baligh dalam pembahasan ini ialah berakal (paham terhadap kewajiban) serta sudah mencapai usia ihtilam. Karena itu, riwayat dari sahabat Mahmud bin ar-Rabi dapat diterima, walaupun ketika menerimanya ia masih berusia 5 tahun.

(c)  Taqwa
Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan takwa di sini ialah meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa, seperti syirik, bid’ah, dan fasiq (Lihat, al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, Beirut: Dar el-Fikr, t.t. juz II, hal. 18)
Pensyaratan taqwa mengacu kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” Q.s. Al-Hujurat [49]:6

(d)  Memelihara muru’ah
Menurut Ibn Hajar, muru’ah adalah kesempurnaan manusia, seperti jujur dalam berbicara, mencurahkan kebaikan, mencegah sesuatu yang merugikan/menyusahkan orang lain. (Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit.)
Al-Zunjani, pada kitabnya Syarh al-Wajiz, berkata, “Untuk mengetahui batasan muruah dikembalikan kepada urfi (kebiasaan), karena muru-ah tidak berkaitan dengan syara’. Anda tahu bahwa perkara urfi sedikit sekali yang baku, bahkan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu dan tempat. (Lihat, Abu Abdurrahman Shalah bin Muhamad bin ‘Uwidhah, Ta’liq ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, op.cit. hal. 84)

Sedangkan perkara-perkara yang dapat merusak muru-ah adalah perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan etika muslim, seperti kencing di jalan, berkawan dengan orang yang berakhlak rendah, bermain catur, bermain burung, dan lain sebagainya. (Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit. al-Khatib, op.cit. hal. 232)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa muru-ah lebih banyak berkaitan dengan ukuran-ukuran moral manusia. Inilah persyaratan ‘adalah yang harus dipenuhi oleh seorang rawi ketika meriwayatkan hadis. Meskipun demikian, orang yang memenuhi kriteria ‘adalah bukan berarti “bersih” dari segala kekurangan dan kesalahan sekecil apa pun. Hanya yang dijadikan tolok ukur dalam ‘adalah menyangkut kadar kelebihan dan kekurangannya. Apabila kelebihannya melebihi kekurangannya dan kekurangannya itu dapat tertutup oleh kelebihan tersebut, maka rawi tersebut dinyatakan ‘adil.

Kriteria penetapan ‘adalah rawi

Para ulama telah menetapkan kriteria untuk mengetahui ‘adalah seorang rawi. Sebagian telah disepakati dan sebagiannya lagi masih diperdebatkan:

1. Kriteria yang disepakati
a) Pernyataan ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap orang tersebut, seperti shaduq, tsiqatun, dan lain-lain. Hal ini ditujukan bagi rawi yang belum dapat dipastikan kualitasnya dan belum sampai ke tingkat masyhur di kalangan umum.
b) Sudah tersebar dan termasyhur perihal dirinya, sehingga ‘adalah-nya tidak perlu lagi dinyatakan, seperti al-Auza‘i (W. 157 H/773 M), Malik (W. 179  H/795 M), Sufyanain (dua Sufyan), yaitu Sufyan al-Tsauri (W. 161  H/777 M) dan Sufyan bin Uyainah (W. 194 H/809 M), Abdullah bin al-Mubarak (W. 181 H/797 M), Ahmad bin Hanbal (W. 241 H/855 M) Ali bin al-Madini (W. 234 H/848 M), al-Bukhari (W. 256 H/869 M), dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Orang-orang seperti mereka ini tidak perlu dipertanyakan lagi sifat ‘adalah-nya.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang ‘adalah Ishaq bin Rahawaih (W. 237 H/851 M). Ia menjawab:
مِثْلُ إِسْحَاقَ يُسْأَلُ عَنْهُ ؟
“Orang semacam Ishaq ditanyakan ?” (Lihat, Dr. Abd al-Maujud Muhamad Abd al-Lathief, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil: Dirasah wa Tathbiq, al-Dar al-Salafiyah, Kuwait, 1988, hal 30; Al-Rahman, op.cit. hal.230)
Ibn Ma’in juga pernah ditanya tentang Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (W. 224 H/838 M). Ia menjawab
مِثْلِيْ يُسْأَلُ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ ؟ أَبُوْ عُبَيْدٍ يَسْأَلُ عَنْهُ النَّاسُ
“Orang seperti saya ditanya tentang Abu Ubaid ? Abu Ubaid menjadi rujukan orang-orang” (Lihat, Al-Latief, Loc.cit.) 
Yang dimaksud termasyhur di sini bukan masyhur periwayatannya, melainkan  keutamaan dan ketsiqatannya. Sebab tidak sedikit rawi yang termasyhur periwayatannya, namun  justru tidak diakui ‘adalah-nya,  Seperti Tharif bin Salman atau yang lebih populer dengan sebutan Abu ‘Atikah. Ia termasyur dengan riwayat:
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-hadis”(Lihat, Al-Tarikh al-Kabir, Dar el-Fikr, t.t. IV:357)
Ungkapan ini ditujukan kepada rawi yang hadisnya tidak halal untuk diriwayatkan. (lihat, Mushthafa bin Ismail, Syifa’ al-‘Alil bi Alfazh wa Qawaid al-Jarh wa al-Ta’dil, Maktabah Ibn Taimiyyah, Kairo, 1991, I:379)
c)  rawi tersebut dipergunakan periwayatannya di dalam kitab yang sudah diakui kesahihannya, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim

2.  Kriteria yang diperdebatkan
a)  rawi tersebut dipergunakan oleh para penyusun kitab hadis yang dianggap memenuhi kriteria Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, namun dalam kenyataannya pada kitab tersebut banyak rawi yang tidak memenuhi kriteria kedua imam tersebut, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain
b) pernyataan rawi bahwa ia hanya meriwayatkan hadis dari orang yang tsiqat, baik disebutkan namanya atau hanya menyebutkan sifatnya, seperti
حَدَّثَنِي الثِّقَةُ
c)  kepastian ‘adalah setiap orang yang mengemban ilmu hadis, berdasarkan sabda Nabi saw.
يُحْمَلُ هذَا الْعِلْمُ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ  تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ
“Ilmu ini (ilmu hadis) akan diemban dari setiap generasi oleh orang yang ‘adil, mereka akan menolak perubahan yang dilakukan oleh orang yang fanatik, pentakwilan oleh orang yang bodoh, dan penjiplakan orang yang bathil” H.r. Ibn ‘Abd al-Barr (Lihat, al-Tamhid li Ibn ‘Abd al-Barr, Wuzarah ‘Umum al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maroko, 1387 H, I:59)
Dari hadis ini Ibn ‘Abd al-Barr (W. 463 H/1070 M) berpendapat bahwa setiap orang yang berkecimpung dalam urusan hadis dapat dipastikan ‘adalah-nya, hingga terbukti kecacatannya. (Lihat, Al-Tamhid, op.cit, I:29)
  • ad-Dhabth
kata al-dhabt secara bahasa berarti al-hazm, yaitu keteguhan atau ketetapan hati dalam pekerjaan. Sedangkan menurut istilah umum, al-dhabt mengandung pengertian “memperdengarkan perkataan sebagaimana yang didengarnya, lalu memahami makna yang dimasud oleh perkataan itu, kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan tetap mengingatnya sampai waktu menyampaikannya kepada orang lain”.  (Lihat, Abd al-Rauf al-Manawi, al-Ta’arif, Beirut: Dar el-Fikr, 1410, hal 469; Ali bin Muhamad al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Jeddah: al-Haramain, t.t., hal 137)

Adapun di kalangan ahli hadis istilah al-dhabth menunjukkan sifat yang menjadikan seorang rawi memiliki kelayakan untuk menyampaikan dan mengajarkan hadis seperti yang diterimanya.
Dalam pandangan Ibn al-Shalah, al-dhabth mengandung pengertian: 
أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِي مُتًيَّقِظاً غَيْرَ مُغْفِلٍ، حَافِظاً إِنْ حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ، ضَابِطاً لِكِتَابِهِ إِنْ حَدَّثَ مِنْ كِتَابِهِ.وَإِنْ كَانَ يُحَدِّثُ بِالْمَعْنَى: أُشْتُرِطَ فِيْهِ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ عَالِماً بِمَا يُحِيْلُ الْمَعَانِي، والله أعلم.
“keadaan rawi ingatannya kuat, lancar bila menyampaikan hafalannya dan menguasai (redaksi) tulisannya bila menyampaikan dari kitabnya. Dan jika ia menyampaikan secara makna, maka disyaratkan harus mengetahui sesuatu yang dapat mengubah makna. Wallahu A’lam.”  (Lihat, Muqaddimah Ibn al-Shalah, op.cit.:84-85)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa al-dhabth  terbagi kepada dua macam:
a) dhabth shadr, yaitu orang yang betul-betul hafal terhadap hadis sejak menerima sampai waktu menyampaikannya.
b) dhabth kitab, yaitu orang yang menulis hadis yang diterimanya ke dalam sebuah catatan, dan menjaga dari perubahan huruf serta harakat (yang bisa berakibat terjadinya perubahan makna) semenjak menerima hadis itu sampai saat ia menyampaikannya.

Dhabth dan tidaknya seorang rawi dapat diketahui dan ditetapkan dengan memperhatikan riwayatnya. Bila hadis yang disampaikannya sesuai dengan riwayat orang lain yang tsiqat, walaupun dari segi makna, maka dhabth-nya diakui. Namun apabila bertentangan, berarti tidak diakui dhabth-nya dan ditolak riwayatnya. Keadaan ini, oleh para ahli hadis diistilahkan dengan mukhalafah al-tsiqah.

Apabila ‘adalah dan al-dhabt telah terwujud pada seorang rawi, maka rawi itu dipandang tsiqat, dan hadis yang  diriwayatkannya dapat dijadikannya hujjah

Kriteria hadis shahih berikutnya:

c)   tidak ada ‘ilah.
Maksudnya hadis tersebut terhindar dari berbagai penyakit hadis yang dapat menodai kesahihannya, seperti me-mutasil-kan (menyambungkan) sanad yang munqathi (terputus), me-marfu-kan hadis mauquf (menyatakan perkataan sahabat sebagai sabda Nabi), dan  sebagainya. (Lihat, ‘Itr, op.cit., hal. 243; Al-Khatib, op.cit., 305)

d)  tidak syadz.
Maksudnya hadis tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan rawi lain yang lebih kuat, baik dari segi hafalan maupun jumlah hadis. (Lihat, ‘Itr, op.cit., hal. 242)

Berdasarkan kriteria di atas, maka unsur-usur kaidah kesahihan hadis di atas pada intinya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam;
1. yang berhubungan dengan sanad, yaitu (1) sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi saw.; (2) seluruh periwayat dalam hadis itu bersifat 'adil dan tam dhabith; (3) terhindar dari ilat; (4) terhindar dari syudzudz.
2. yang berhubungan dengan matan, yaitu  (1) terhindar dari ilat; (2) terhindar dari syudzudz.

Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama hadis menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih. Apabila sebagian unsur itu tidak terpenuhi, mungkin unsur yang berkaitan dengan sanad atau yang berkaitan dengan matan, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih.
Apabila sebagian unsur hadis shahih—sebagaimana telah dijelaskan—tidak  terdapat pada suatu hadis, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih. Hadis yang tidak shahih dikategorikan menjadi dua jenis: (a) hasan dan (b) dha’if.

Hadis Hasan
Hadis hasan adalah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ خَفِيْفُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ  غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
“Hadis yang disampaikan oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, muttashil sanadnya, tidak ada ilat, dan tidak syadz.”

Definisi di atas mengacu kepada kriteria Ibnu Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:
وخبر الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ هو الصحيح لذاته ،فان خَف الضبط،فالحَسَنُ لذاته
“Dan khabar ahad yang disampaikan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya, tidak ada ilat, dan tidak syadz, itulah khabar yang shahih lidzatihi (shahih secara mandiri). Jika kurang sempurna hafalannya, maka dikategorikan hasan lidzatihi.” (Lihat, Nukhbah al-Fikr:29 dan 34)

Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar di atas, tampak jelas perbedaan  antara hadis shahih dengan hadis hasan, yaitu dalam unsur dhabit (hapalan) rawi. Dalam hadis shahih disyaratkan tamm ad-Dhabth (sempurna hafalannya), sedangkan dalam hadis hasan khafif ad-Dhabth (kurang sempurna hafalannya).

Perlu diketahui bahwa hadis hasan terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, disebut Hasan Lidzatihi (secara mandiri), yaitu hadis yang memenuhi kriteria hasan di atas. Sebagai contoh hadis hasan lidzatihi antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bahz bin Hakiem, dia berkata
حَدَّثِنْى أَبْي عَنْ جَدِّى قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبِرُ ؟ قَالَ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ:  ثُمَّ أُمَّكَ ثُمَّ أَبَاكَ, ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
 ‘Bapaku telah bercerita kepadaku, dari kakekku, dia berkata, ‘Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Kepada siapa aku harus berbakti ? Beliau menjawab, ‘Ibumu’, saya bertanya lagi, terus siapa lagi ? ‘beliau menjawab, ‘Ibumu, lalu aku bertanya lagi, siapa lagi ? ‘Beliau menjawab, Ibumu, lalu bapakmu, lalu saudaramu yang paling dekat dan yang seterusnya.’. HR. Ahmad

Hadis ini dinilai hasan lidzatihi, karena salah seorang rawinya, yakni Bahz bin Hakiem kurang kuat hafalannya.

Kalau hadis seperti ini diriwayatkan pula melalui rawi lain yang sederajat atau lebih kuat, baik sama sahabatnya atau berbeda, maka hadis hasan lidzatihi naik derajatnya menjadi shahih La Lidzatihi atau Shahih Li Ghairihi.

Kedua, disebut Hasan Lighairi atau La Lidzatihi
Menurut Imam as-Suyuthi, Hasan Lighairi adalah hadis yang tidak terlepas sanadnya dari orang yang mastur (tidak dikenal) –tidak nampak keahliannya-, bukan orang yang pelupa yang banyak salahnya dalam meriwayatkan hadis, tidak dicurigai bohong, tidak fasik, dan keadaan matan hadisnya dikenal dengan dasar riwayat yang sama, baik dari segi lafad dan maknanya atau maknanya saja.” (Lihat, Tadrib ar-Rawi, I:158).

Definisi ini menunjukan bahwa hadis hasan lighairihi asalnya hadis dha’if yang naik derajatnya menjadi hasan lighairihi disebabkan dua faktor:
Pertama, dikuatkan oleh rawi lain yang sahih atau hasan lidzatihi, baik satu atau lebih
Kedua, sebab dha’ifnya karena buruk hafalannya atau munqathi (putus) sanad (jalur periwayatannya), atau majhul (tidak dikenal) rawi-rawinya.

Tapi kalau dha’ifnya itu disebabkan katsirul khata dan katsirul ghalat, yaitu banyak salah dalam meriwayatkan hadis. Demikian pula cacatnya berkaitan dengan akidah dan akhlak maka derajatnya tetap daif, tidak naik menjadi hasan lighairihi, walaupun "dikatrol" oleh jalur lain yang shahih atau hasan lighairi.

Contoh hadis hasan ligharihi
حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيْبٌ
“Hak bagi kaum muslim mandi pada hari Jum’at. Dan hendaklah salah seorang di antara mereka mamakai pengharum keluarganya. Kalau tidak ada air pun cukup sebagai pengharum.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi melalui seorang rawi bernama Yazid bin Abu Ziyad. Imam ad-Dzahabi menerangkan bahwa Yazid terkenal buruk hafalan (Lihat, Mizan al-I’tidal, IV:423).

Meskipun demikian hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari  dari sahabat Abu Sa’id dengan perbedaan redaksi sebagai berikut:
أَلْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيْبًا إِنْ وَجَدَ
Mandi pada hari ju’at itu wajib bagi setiap orang muslim yang sudah balig, dan mengerjakan yang sunat, dan memakai pewangi kalau ada.” 

Riwayat al-Bukhari itu menguatkan  periwayatan Yazid bin Abu Ziyad dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ahmad di atas, sehingga naik derajatnya menjadi hasan lighairihi.

Perlu diketahui bahwa istilah hasan telah dipergunakan pada abad ke-2 H, misalnya oleh Imam as-Syafi'i dan Imam Ahmad, namun waktu itu belum dipublikasikan atau belum begitu dikenal secara meluas. Istilah ini kemudian menjadi populer, diperkenalkan secara luas oleh Imam at-Tirmidzi, sebagai murid al-Bukhari, melalui kitabnya Sunan at-Tirmidzi, yaitu dalam kitab tersebut beliau banyak memuat dan menyebut istilah hasan. Karena itu, Imam An-Nawawi berkata, 
كِتَابُ التِّرْمِذِيِّ أَصْلٌ فِي مَعْرِفَةِ الْحَسَنِ وَهُوَ الَّذِيْ شَهَّرَهُ
“Kitab sunan At-Tirmidzi merupakan sumber pokok dalam mengenal hadis hasan dan dialah yang memasyhurkan/memperkenalkan istilah ini”. (Lihat, At-Taqrib wa At-Taisir, 1985:30)

Menurut penelitian kami,  didalam kitab Sunan at-Tirmidzi, istilah hasan disebut atau digunakan sebanyak 1505 kali, dengan variasi bentuk hasananun shahihun 1347 kali, hasanun ghariebun 501 kali, gariebun hasanun shahihun 2 kali, hasanun shahihun gharibun 156 kali, hasanun ghariebun shahihun 53 kali.

Hadis Dha’if
Hadis dha’if
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَ الْحَسَنِ
“ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan hasan. (Lihat, Ushul al-Hadits:337)

Sebab-sebab dha’if ada dua macam:
Pertama:  سَقْطٌ مِنْ إِسْنَادٍ (putus sanadnya)
Yaitu putus sanadnya karena “hilangnya” seorang rawi atau lebih pada sanad (jalur periwataran), baik di awal, di tengah, atau di akhir sanad. Ada tiga faktor yang menyebabkan “hilangnya” mata rantai sanad:
Pertama, tidak sejaman, hadisnya disebut
  • Mu’allaq (jika “hilang” di awal sanad)
  • Mu’dhal (jika “hilang” dua rawi atau lebih secara berurutan di tengah sanad)
  • Munqathi’ (jika “hilang” satu rawi atau lebih di tengah sanad, tapi tidak secara berurutan)
  • Mursal jalli (jika “hilang” di akhir sanad)
Kedua, sejaman tidak bertemu, hadisnya disebut Mursal Khafi
Ketiga, bertemu tapi tidak berguru, hadisnya disebut: Mudallas.

Contoh hadis dha’if karena putus sanadnya
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْ نِسْوَةً فِي الْمَكْتُوْبَةِ فَأَمَّتْهُنَّ بَيْنَهُمَا وَسَطًا
 “Aisyah pernah mengimami perempuan-perempuan pada salat fardlu, dia berdiri ditengah-tengah mereka”. H.r. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:131

Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis daif karena rawi bernama Maisarah Abu Hazim tidak menerima hadis itu dari Raithah al-Hanafiyyah. (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XXIX:192, rawi No. 6326)

Kedua:  طَعْنٌ فِي رَاوٍ (cacat pada rawinya)

Cacat pada rawi terbagi ke dalam dua jenis:
Pertama, berkaitan dengan  ‘adalah (integritas moral):
  1. Rawinya pendusta, hadisnya disebut Maudu’
  2. Rawinya dicurigai dusta, hadisnya disebut Matruk.
  3. Rawinya fasik, hadisnya disebut Munkar.
  4. Rawinya ahli bid’ah, hadisnya disebut Munkar.
  5. Rawinya tidak dikenal, hadisnya disebut Majhul.
Kedua, berkaitan dengan  dhabth (daya hafal dan kapasitas intelektual):
  1. Rawinya banyak salah, hadisnya disebut Munkar.
  2. Rawinya banyak lupa, hadisnya disebut Munkar.
  3. Rawinya banyak perkiraan (ragu-ragu), hadisnya disebut Mu’allal.
  4. Rawinya menyalahi periwayatan rawi  lain yang shahih, hadisnya disebut
  • Mudraj, yaitu terdapat sisipan rawi pada sanad atau kata/kalimat pada matannya.
  • Maqlub, yaitu terbalik dalam penamaan rawi atau redaksi matan.
  • Mudhtharib, yaitu diriwayatkan dari beberapa jalan dengan redaksi yang saling bertentangan dan tidak bisa ditentukan mana yang benar.
  • Mushahhaf, yaitu terjadi perubahan titik pada nama rawi atau redaksi matan.
  • Muharraf, yaitu terjadi perubahan syakal atau huruf pada nama rawi atau redaksi matan.
5. Rawinya buruk hafalan, hadisnya disebut:
  • Syadz, bila buruk hapalannya sudah sejak lama.
  • Mukhtalith, bila buruk hapalannya terjadi pada masa tua, karena pikun, buta matanya atau terbakar kitabnya.
Contoh hadis dha’if karena cacat rawi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه أبو داود و البيهقي وأحمد والطحاوي و الدارقطني والنسائي و الدارمي
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang hendak sujud, maka janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Abu Daud, Al-Baihaqi, Ahmad, At-Thahawi, Ad-Daraquthni, An-Nasai, dan Ad-Darimi.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ   قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.رواه الدارقطني
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bila hendak sujud, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ad-Daraquthni.

Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis daif, karena pada sanad hadis pertama (Abu Huraerah) terdapat cacat dalam dhabth rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad Ad-Darawardi (w. 187 H). Abu Zur’ah berkata, “Buruk hapalan” (Lihat, Tahdzib al-Kamal XVIII:194). Sedangkan pada sanad hadis kedua (Ibnu Umar)  terdapat cacat dalam ‘adalah rawi bernama Abdullah bin Nafi as-Shaig. Kata Abu Zur’ah, “Dia munkarul hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)” (Lihat, Tahqiq Tahdzib al-Kamal, XVI:210)

Contoh hadis dha’if karena cacat rawi:

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
 “Siapa yang melahirkan anak, lalu diadzani pada telinga sebelah kanan  dan diqamati pada telinga sebelah kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh Ummus Shibyan (jin)”. H.r. Abu Ya’la, Ibnu as-Suniy, dalam kitabnya ‘Amal al-Yawm wa al-Lailah, dan Ibnu Asakir, dari As-Sayid al-Husen.

Hadis di atas dha’if, karena pada sanadnya terdapat rawi Marwan bin Salim al-Ghifari, Kata Imam as-Suyuthi, “Dia matruk.” (Lihat, Jami’ al-Ahadits al-Kabir, I:24.774) Penilaian yang sama disampaikan oleh al-Haitsami. (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, IV:59)

Hukum Mengamalkan Hadis dha’if

Ahmad Muhammad Syakir berkata, “(artinya) Menurut saya, menjelaskan kedha’ifan satu hadis yang dha’if merupakan kewajiban pada setiap keadaan. Sebab, kalau tidak dijelaskan seperti itu, maka orang yang membaca akan menyangka bahwa itu adalah hadis shahih. Sesungguhnya tidak ada bedanya mengenai hal ini, baik hadis yang berkaitan dengan hukum atau fadla’ilul A’mal dan sebagainya, semuanya tetap tidak boleh menggunakan hadis-hadis dla’if, bahkan tidak ada hujjah buat siapa saja kecuali dengan hadis dari Rasulullah saw. baik hadis shahih atau hasan.  Adapun perkataan Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, dan Ibnu Mubarak: “Kalau kami meriwayatkan (hadis) mengenai halal dan haram, kami akan memperketat (persyaratan mengenai sanadnya dan keadaan para rawinya), tetapi kalau meriwayatkan (hadis) yang berkaitan dengan fadla’il (keutamaan) amal dan yang lainnya (dorongan berbuat baik, ganjaran, doa-doa, dan banyak lagi), maka kami mempermudah persyaratan sanadnya”, maka yang dimaksud oleh mereka menurut pemahaman saya, wallahu A’lam, yaitu mengenai penggunaan hadis hasan yang tidak sampai kepada derajat shahih. Sebab, istilah-istilah yang membedakan antara yang shahih dan yang hasan, pada masa itu hampir tidak jelas. Apalagi orang-orang dahulu pada umumnya tidak memberi predikat pada satu hadis kecuali dengan shahih dan hasan saja”. (Lihat, al-Ba’its al-Hatsits syarah Ikhtishar Ulum al-Hadits: 86-87)

Kesimpulan

Sesungguhnya kita sudah mempunyai hadis-hadis shahih mengenai fadhaiul A’mal, dorongan berbuat baik atau peringatan dari berbuat maksiat, dari himpunan sabda-sabda Nabi yang banyak sekali, dan tidak perlu dijelaskan lagi disini mengenai sifat-sifat hadis itu. Hadis yang seperti itu sudah cukup buat kita, sehinggai kita tidak perlu mengambil lagi hadis-hadis dha’if dalam hal ini, apalagi keutamaan-keutamaan mengenai akhlaqul karimah termasuk pokok-pokok agama. Tidak ada bedanya antara hadis yang berkaitan dengan akhlak dan urusan hukum, keduanya harus berdasar pada hadis shahih atau hasan. 
Berdasarkan unsur-unsur kaidah kesahihan-kedaifan hadis—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—kita akan menganalisa beberapa contoh hadis yang berhubungan dengan bulan Ramadhan dan shaum di bulan itu, sebagai berikut:

A. Doa khusus menyambut Ramadhan

Hadis yang berkaitan dengan doa tersebut terbagi menjadi dua macam:

Pertama, dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Nabi saw. apabila masuk bulan Rajab, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahilah kami pada bulan Ramadhan.’ Dan beliau berkata, ‘Malam Jumat itu indah dan siang harinya bercahaya’.” HR. Abdullah bin Ahmad, Musnad Ahmad, IV:180, No. hadis 2346. 

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Apabila masuk bulan Rajab, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan’.” HR. Al-Bazzar, Musnad Al-Bazzar, II:290, No. 6494, Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, IV:189, No. 3939, Ad-Du’a:284, No. 911, Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, III:375, No. 3815, Ad-Da’wat al-Kabir, II:142, No. 529, Ibnu Asakir, Mu’jam asy-Syuyukh:161, No. 309, Al-Mundziri, At-Targhib wa at-Tarhib, II:393, No. 1852, Abdul Ghani al-Maqdisi, Akhbar ash-Shalah:69, No. 127, Al-Khalal, Fi Fadha’il Syahr Rajab:45, No. 1, Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya, VI:269

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh banyak mukharrij (pencatat dan periwayat hadis), namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui seorang rawi bernama Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Ia menerima dari rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi. Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).

Hadis di atas dhaif karena dua sebab:
Pertama, rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad
Rawi tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain:
  • Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-Hadits” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272). Imam al-Bukhari berkata:
كُلُّ مَنْ قُلْتُ فِيْهِ مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ لاَ تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
 “Setiap orang yang aku katakan padanya, ‘munkar al-Hadits’ tidak halal meriwayatkan hadis darinya” (Lihat, Ar-Raf’ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta’dil: 208).
  • Abu Dawud berkata, “Saya tidak mengenal khabarnya” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272).
  • An-Nasai berkata, “Saya tidak tahu siapa dia” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272).
  • Adz-Dzahabi berkata, “Dia dha’if.” (Lihat, Mizan al-I’tidal, II:65).

Kedua, rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi
Rawi tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain:
  • Ibnu Ma’in berkata, “Pada hadisnya terdapat kedhaifan” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
  • Abu Hatim berkata, “Hadisnya dicatat dan tidak dapat digunakan hujjah” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
  • Abu Ubaid al-Ajiri berkata, “Saya bertanya kepada Abu Dawud tentangnya (Ziyad), maka ia mendhaifkannya.” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
  • Ibnu Hiban berkata, “Dia keliru.” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493).
  • Kata Ibnu Hajar, “Ibnu Hiban menyebutkannya pula dalam kitab ad-Dhu’afa, dan ia berkata, “Dia (Ziyad) munkar al-Hadits, meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak menyerupai hadis para rawi tsiqat. Dia ditinggalkan oleh Ibnu Ma’in.” (Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III:378)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Al-Baihaqi berkata:
تفرد به زياد النميري وعنه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري : زائدة بن أبي الرقاد عن زياد النميري منكر الحديث
“Ziyad an-Numairi menyendiri dengan hadis itu, dan darinya diterima oleh Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari berkata, ‘Za’idah bin Abu ar-Ruqad dari Ziyad an-Numairi, munkar al-Hadits’.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, III:375)

An-Nawawi berkata:
وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعف
“Dan kami meriwayatkan dalam kitab Hilyah al-Awliya dengan sanad yang padanya terdapat kedaifan.” (Lihat, Al-Adzkar:274)

Al-Haitsami berkata:
رواه البزار وفيه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري منكر الحديث وجهله جماعة
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan padanya terdapat rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari berkata, ‘Dia munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak dikenal) oleh sekelompok ulama.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, II:165)

Al-Munawi berkata:
وقال البخاري : زائدة عن زياد منكر الحديث وجهله جماعة وجزم الذهبي في الضعفاء بأنه منكر الحديث  
“Al-Bukhari berkata, ‘Zaidah dari Ziyad munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak dikenal) oleh sekelompok ulama. Dan Adz-Dzahabi telah menetapkan dalam kitabnya adh-Dhu’afa bahwa dia munkar al-Hadits.” (Lihat, Faidh al-Qadier, I:325)

Ahmad Syakir berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).” (Lihat, Ta’aliq ‘Ala al-Musnad, IV:100)

Syekh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).” (Lihat, Ta’aliq ‘Ala al-Musnad, IV:180)

Kesimpulan Hadis Pertama:
Hadis yang berkaitan dengan doa menyambut Ramadhan yang dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk pengamalan.

Kedua, Tanpa dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban

Doa khusus menyambut bulan Ramadhan yang populer di sebagian kaum muslimin dengan redaksi:

اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Sejauh penelitian kami, hampir selama 15 tahun, redaksi di atas tidak didapatkan sumber asalnya, sehingga tidak jelas riwayat siapa.

Adapun redaksi yang ditemukan sumber dan periwayatnya adalah sebagai berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ : اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ لِي مُقَبَّلاً
Dari Ubadah bin As-shamit: “Ya Allah, selamatkanlah aku untuk Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia untukku (sebagai) yang diterima.” HR. Ad-Dailami, Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:471, No. 1919

Dalam penelusuran Ibnu Hajar redaksi hadis versi Ad-Dailami itu selengkapnya sebagai berikut:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ يَقُولُ اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلا
Dari Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami beberapa kalimat apabila datang bulan Ramadhan, agar salah seorang di antara kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah aku untuk Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia dariku (sebagai) yang diterima.” (Lihat, Al-Ghara’ib al-Multaqathah min Musnad al-Firdaws Mimmaa Laisa fii al-Kutub al-masyhurah:589, No. 614)

Sementara At-Thabrani meriwayatkan dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ أَنْ يَقُولَ أَحَدُنَا اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي مِنْ رَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلا
Dari Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami beberapa kalimat apabila datang bulan Ramadhan, agar salah seorang di antara kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah aku dari Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia dariku (sebagai) yang diterima. HR. At-Thabrani, Ad-dhu’a:284, No. 912

Abdul Karim bin Muhammad al-Qazwini meriwayatkan pula dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ يُعَلِّمُنَا أَنْ نَقُوْلَ اللّهُمَّ سَلِّمْنَا لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ مِنَّا وَتَسَلَّمْهُ مِنَّا مُتَقَبَّلاً 
Dari Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Nabi saw. apabila datang bulan Ramadhan mengajarkan kepada kami agar kami mengucapkan: Ya Allah, selamatkanlah kami untuk Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan dari kami dan terimalah ia dari kami (sebagai) yang diterima.” At-Tadwin fi Akhbar Qazwin, III:424

Ad-Dzahabi, dalam menjelaskan rawi Ibnu Syaghabah Abu al-Qasim Abdul Malik bin Ali bin Khalaf, mencantum hadis tersebut dengan redaksi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم  يُعَلِّمُنَا هؤلاءِ الْكَلِمَاتِ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ اللّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً.
Dari Ubadah bin As-shamit, ia berkata, ”Nabi saw. mengajarkan kepada kami beberapa kalimat apabila datang bulan Ramadhan: Ya Allah, selamatkanlah aku untuk Ramadhan dan selamatkanlah Ramadhan untukku dan terimalah ia dariku (sebagai) yang diterima.” HR. Ibnu Syaghabah Abu al-Qasim, Siyar A’lam an-Nubala, XIX:51, No. rawi 31

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) dengan redaksi yang berbeda, namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui seorang rawi yang popular disebut Abu Ja’far ar-Razi, dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, dari Shalih bin Kaisan, dari Ubadah bin as-Shamit.
Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).

Hadis di atas dhaif dengan sebab kedaifan Abu Ja’far ar-Razi, namanya Isa bin Abu Isa Mahan. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain: Al-Fallas berkata, “Dia buruk hafalan”. Abu Zur’ah berkata, “Sering ragu-ragu (dalam meriwayatkan)” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, II:500)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Syekh Syu’aib al-Arnauth berkata:
إسناده ضعيف لضعف أبي جعفر الرازي، واسمه عيسى بن ماهان، قال ابن المديني: كان يخلط، وقال يحيى: كان يخطئ، وقال أحمد: ليس بالقوي في الحديث، وقال أبو زرعة: كان يهم كثيرا، وقال ابن حبان: كان ينفرد بالمناكير عن المشاهير، قلت: وهو راوي حديث أنس: ما زال رسول الله يقنت في صلاة الصبح حتى فارق الدنيا. 
”Sanadnya dha’if karena kedhaifan Abu Ja’far ar-Razi, namanya Isa bin Mahan. Ibnu al-Madini berkata, ’Dia rusak (hapalannya).’ Yahya bin Ma’in berkata, ”Dia keliru.’ Ahmad berkata, ’Dia tidak kuat dalam hadis.’ Abu Zur’ah berkata, ’Dia banyak waham.’ Ibnu Hiban berkata, ’Dia menyendiri dengan riwayat-riwayat munkar dari rawi-rawi masyhur.’ Menurut saya, ’Dia rawi hadis Anas, ’Rasulullah saw. tidak henti-hentinya qunut pada salat subuh hingga meninggal dunia’.” Lihat, Tahqiq Siyar A’lam an-Nubala, XIX:51)

Kesimpulan Hadis Kedua:
Hadis yang berkaitan dengan doa menyambut Ramadhan tanpa dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Sya’ban kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk pengamalan.

Karena itu, kami berkesimpulan bahwa dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan tidak disyariatkan berdoa secara khusus.
B. Klasifikasi Hari di Bulan Ramadhan

Terdapat sejumlah hadis yang menerangkan bahwa hari-hari di Bulan Ramadhan diklasifikasikan menjadi tiga: Awalnya Rahmat, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).

Dilihat dari redaksinya, hadis tentang itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama, diawali dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفْطِرُ الصَّائِمَ فَقَالَ يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مَذِقَةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Dari Salman, ia berkata, “Pada hari akhir bulan Sya’ban Rasulullah saw. mengkhutbah kepada kami. Beliau bersabda, ’Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat). Siapa yang mendekatkan (melaksanakan) sesuatu kebaikkan (sunnat), maka (pahalanya) seperti (pahala) bagi orang yang menunaikan kewajiban. Dan siapa yang menunaikan kewajiban, (pahalanya) seperti (pahala) yang menunaikan kewajiban sebanyak tujuh puluh kali. Bulan itu adalah bulan (penuh dengan) kesabaran dan bersabar itu pahalanya adalah surga. Bulan yang penuh dengan kebaikan, bulan yang akan bertambah rezeki seorang mukmin. Barang siapa memberi makan orang shaum pada bulan itu, maka hal itu merupakan magfirah bagi dosa-dosanya dan lehernya akan terlepas dari api neraka, dan baginya (orang yang memberi makan) akan mendapat pahala seperti pahala yang shaum tanpa terkurangi sedikitpun dari pahalanya itu. Para sahabat bertanya, ’Kami semua tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makan yang shaum, beliau menjawab,’Allah akan memberi pahala seperti ini kepada orang yang memberi makan yang shaum walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau  sesuatu yang dicampur dengan susu. Dan bulan itu adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, pertengahannya penuh maghfirah dan ahirnya pembebasan dari neraka… H.r. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:192, No. hadis 1887, al-Baihaqi, Fadha’il al-Awqat, hlm. 43, No. hadis 40, dan Al-Haitsami, Musnad al-Harits atau Zawa’id al-Haitsami, I:413, No. 321

Kedudukan Hadis Pertama

Hadis ini bersumber dari dua orang rawi, yaitu:
1. Ali bin Zaid bin Jud’an. Ia adalah Ali bin Zaid bin Abdullah bin Abu Mulaikah. Namanya Zuhair bin Abdullah bin Jud’an bin Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah al Qurasyi at Taimi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain: Abu bakar bin Khuzaimah mengatakan,’Aku tidak berhujjah dengannya karena ia buruk hafalan”. (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XX: 434-445)
2. Yusuf bin Ziad an-Nahdi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain, Al Bukhari dan Abu Hatim berkata, ’Munkar al-Hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)”. (Lihat, Mizan al-‘Itidal, IV : 465)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Kata Ibnu Abu Hatim, “Saya bertanya kepada ayah saya tentang hadis…(di atas). Maka beliau menjawab:
هذا حدِيثٌ مُنكرٌ غلِط فِيهِ عَبدُ اللهِ بنُ بكرٍ إِنّما هُو أبانُ بنُ أبِي عيّاشٍ فجعل عَبدُ اللهِ بنُ بكرٍ أبانًا إِياسًا.
“Ini hadis yang munkar, Abdullah bin Bakr telah melakukan kesalahan di dalamnya, rawi sebenarnya tiada lain Aban bin Abu ‘Ayyas, lalu Abdullah bin Bakar menjadikan (mengganti) Aban dengan Iyas.” (Lihat, ‘Ilal al-Hadits, hlm. 289) 

Kata Ibnu Hajar:
رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي (الشُّعَبِ) مِنْ طُرُقٍ : عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُجْرٍ  بِهَذَا الإِسْنَادِ  وَمِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ  عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ الْغَفَّارِ  عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ  وَالأَوَّلُ أَتَمُّ وَمَدَارُهُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ  وَهُوَ ضَعِيفٌ , وَأَمَّا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ فَضَعِيفٌ جِدًّا وَأَمَّا إِيَاسُ بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ فَمَا عَرَفْتُهُ
“Hadisnya diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman melalui beberapa jalur periwayatan: Dari Ali bin Hujr dengan sanad ini. Dan dari jalur lain: dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid. Jalur pertama lebih komplit dan porosnya Ali bin Zaid, dan dia daif. Adapun Yusuf bin Ziyad, maka ia sangat daif. Sedangkan Iyas bin Abdul Ghaffar, maka aku tidak mengenalnya.” (Lihat, Ittihaf al-Muhirrah bil Fawa’id al-Mubtakirah min Athraf al-Asyrah, V:560)


Kedua, tanpa diawali dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ’Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah magfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”. H.r. Ibnu Adi, al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, IV:325, Al-Uqaili, Adh-Dhu’afa al-Kabir, III:437, No. hadis 750, Ad-Dailami, Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:138, No. hadis 79, dan Al-Khathib al-Baghdadi, Mawdhih Awham al-Jam’I wat Tafriq, II:144, No. hadis 233

Kedudukan Hadis kedua

Hadis ini bersumber dari dua orang rawi yang dinyatakan daif, yaitu:
  • Maslamah bin As Shlt.
Abu Hatim berkata, ’Matruk al-Hadits”. (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil, VIII: 269; Ad-Du’afa wa al- Matrukin, III : 119)
  • Salam bin Sawwar.
Nama lengkapnya Salam bin Sulaiman bin Sawwar, Abul Abbas, as Tsaqafi, al Madain.
Menurut Abu Hatim, ’Ia rawi yang tidak kuat”. Ibnu Adi berkata, ’Munkar al-Hadits” (Lihat, Mizan al-I’tidal, II : 178)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Kata Al-Khathib al-Baghdadi:
وكان ضعيفا في الحديث ومن ضعفه اختلاف روايته هذا الحديث
“Salam daif dalam hadis, dan di antara bentuk kedaifannya terdapat ikhtilaf dalam meriwayatkan hadis ini” (Lihat, Mawdhih Awham al-Jam’I wa at-Tafriq, II:144)

Kata Muhammad al-Lakhmi:
إسناده ضعيف جدا والحديث منكر  
“Sanadnya sangat daif, dan hadis itu munkar.” (Lihat, Masyikhah Abi Thahir Ibn Abu As-Shaqr, hlm. 83)

Kata Syekh al-Albani, “(Hadis ini) dha’ief jiddan (sangat dhaif).” (Lihat, Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shagir wa Ziyadatuhu, hlm. 495)

Dalam kitabnya yang lain, Syekh al-Albani berkata, “Munkar.” (Lihat, Silsilah al-Ahadits ad-Dha’iefah wa al-Mawdhu’ah, IV:70)

Kesimpulan:
Hadis yang berkaitan dengan klasifikasi hari di bulan Ramadhan kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya klasifikasi itu.

C. Sya’ban Bulan Nabi dan Ramadhan Bulan Allah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ الله وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرِي : شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan Allah dan bulan Sya’ban adalah bulanku. Sya’ban pembersih dan Ramadhan penghapus’.” HR. Ibnu Asakir, Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, VI:84

Ala’uddin al-Muttaqi al-Hindi menisbatkan hadis ini riwayat Ad-Dailami, dengan redaksi:
شَعْبَانَ شَهْرِي وَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله وَ شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan bulan Allah, dan Sya’ban pembersih dan Ramadhan penghapus’.” (Lihat, Kanz al-‘Umal fii Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, XII:323, No. 35.216)

Dalam penelusuran Ibnu Hajar redaksi hadis versi Ad-Dailami itu selengkapnya sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : شَعْبَانَ شَهْرِي وَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله وَ شَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan Allah dan bulan Sya’ban adalah bulanku. Sya’ban pembersih dan Ramadhan penghapus’.” (Lihat, Al-Ghara’ib al-Multaqathah min Musnad al-Firdaws Mimmaa Laisa fii al-Kutub al-masyhurah:1809, No. 1892)

Kedudukan Hadis

Hadis di atas diriwayatkan melalui seorang rawi bernama al-Hasan bin Yahya al-Khusyani. Dia telah dikritik oleh para ulama, antara lain:

قَالَ أَبُو حَاتِمٍ: صَدُوقٌ، سيئ الحِفْظ.
Abu Hatim berkata, “Shaduq, buruk hapalan.”

قال النَّسَائيّ وغيره: لَيْسَ بثقة.
An-Nasai dan lainnya berkata, “Ia tidak tsiqah.”

قال الدّارَقُطْنيّ: متروك.
Ad-Daraquthni berkata, “Ia Matruk.”

وقال ابن مَعِين: لَيْسَ بشيء
Ibnu Ma’in berkata, “Ia sama sekali tidak bernilai.”
(Lihat, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, IV:1091, No. rawi 68)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Syekh Abdul Ra’uf al-Munawi berkata:
وفيه الحسن بن يحيى الخشني قال الذهبي : تركه الدارقطني
“Pada sanadnya terdapat rawi al-Hasan bin Yahya al-Khusyani. Adz-Dzahabi berkata, ‘Dia dinilai matruk oleh ad-Daraquthni.” (Lihat, Faidh al-Qadier, XIV:405)

As-Suyuti berkata:
ابن عساكر عن عائشة وسنده ضعيف
“Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Aisyah, dan sanadnya dha’if.” (Lihat, Jami’ al-Ahadits al-Kabir, I:13.580)

Kata Syekh al-Albani, “(Hadis itu) mawdhu’ (palsu).” (Lihat, Shahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shagir, III:281)

Kesimpulan:
Hadis yang berkaitan dengan keutamaan bulan Ramadhan seperti di atas kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya keutamaan seperti itu.
D. Umat Islam diberi 5 Keutamaan Pada Bulan Ramadhan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيَتْ أُمَّتِي خَمْسَ خِصَالٍ فِي رَمَضَانَ لَمْ تُعْطَهَا أُمَّةٌ قَبْلَهُمْ خُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُفْطِرُوا وَيُزَيِّنُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلَّ يَوْمٍ جَنَّتَهُ ثُمَّ يَقُولُ يُوشِكُ عِبَادِي الصَّالِحُونَ أَنْ يُلْقُوا عَنْهُمْ الْمَئُونَةَ وَالْأَذَى وَيَصِيرُوا إِلَيْكِ وَيُصَفَّدُ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ فَلَا يَخْلُصُوا إِلَى مَا كَانُوا يَخْلُصُونَ إِلَيْهِ فِي غَيْرِهِ وَيُغْفَرُ لَهُمْ فِي آخِرِ لَيْلَةٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهِيَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ قَالَ لَا وَلَكِنَّ الْعَامِلَ إِنَّمَا يُوَفَّى أَجْرَهُ إِذَا قَضَى عَمَلَهُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada bulan Ramadhan umatku diberi lima hal (keutamaan) yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya; (1) bau mulut orang yang shaum lebih harum di sisi Allah dari pada minyak kesturi, (2) para malaikat memintakan ampunan untuk mereka hingga berbuka, (3) pada setiap harinya Allah Azza Wa Jalla menghiasi surga mereka, kemudian Allah berfirman, 'hampir saja para hamba-Ku yang shalih dihindarkan dari kepayahan dan gangguan dan berjalan kepadamu (surga).' (4) dan di dalam bulan Ramadhan para setan dibelenggu hingga mereka tidak bebas menggoda orang yang shaum sebagaimana mereka bebas mengganggu selainnya, (5) dan akan diampuni dosa-dosa mereka (orang yang shaum) di akhir malam bulan Ramadhan.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah itu pada lailatul qadar?’ Rasulullah saw. bersabda, "Tidak, akan tetapi seorang yang beramal akan ditepati pahalanya jika telah selesai melaksanakan amalannya." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:292, No. 7904; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:219, No. 3330, Fadha’il al-Awqat:41, No. 38; Ath-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, VIII:12; Ibnu Syahin, Fadha’il Syahr Ramadhan:28, No. 26

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Yazid bin Harun, dari Hisyam bin Abu Hisyam, dari Muhammad bin Muhamad bin al-Aswad, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Huraerah.
Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).

Hadis di atas sangat dhaif dengan sebab kedaifan rawi Hisyam bin Abu Hisyam, nama lengkapnya Hisyam bin Ziyad bin Abu Yazid al-Qurasyi Abu al-Miqdam bin Abu Hisyam al-Madani. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Imam Ahmad.

وقال النسائي، وغيره: متروك.
An-Nasai dan lainnya berkata, ‘Dia matruk”

وقال ابن حبان: كان يروي الموضوعات عَنِ الثِّقَاتِ. 
Ibnu Hiban berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari para rawi tsiqah (kredibel).” (Lihat, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, IV:533, No. rawi 418)

وقال ابن حجر متروك من السادسة
Ibnu Hajar berkata, “Dia Matruk, thabaqat (generasi) ke-6.” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:572, no. rawi 7292)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Al-Haitsami berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبَزَّارُ وَفِيهِ هِشَامُ بْنُ زِيَادٍ أَبُو الْمِقْدَامِ وَهُوَ ضَعِيفٌ.
“Hadisnya diriwayatkan oleh Ahmad al-Bazzar, dan pada sanadnya terdapat rawui Hisyam bin Ziyad Abu al-Miqdam, dan dia dhaif.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, III:140)

Syekh Al-Albani berkata:
ضَعِيفٌ جِدَّاً
“(Sanadnya) sangat dhaif.” (Lihat, Dha’ief At-Targhib wa at-Tarhib, I:586)

Syekh Syu’aib al-Arnauth berkata:
إسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدَّاً
“Sanadnya sangat dhaif.” (Lihat, Ta’liq ‘ala Musnad Ahmad, II:292)

Kesimpulan:
Hadis yang berkaitan dengan “paket 5 keutamaan” di bulan Ramadhan seperti di atas kedudukannya sangat dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya keutamaan seperti itu.

Sementara keterangan tentang keutamaan “bau mulut orang yang shaum lebih harum di sisi Allah dari pada minyak kesturi” kita peroleh dari hadis lain yang shahih secara terpisah, sebagai berikut:

Pertama, dengan redaksi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ إِنَّ الصَّوْمَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَيْنِ إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ اللَّهَ فَرِحَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id Ra, keduanya berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah 'azza wajalla telah berfirman, 'Shaum itu adalah bagi-Ku, dan Akulah yang akan memberinya pahala.' Bagi seorang yang shaum, maka baginya ada dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan saat ia berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Allah. Demi Dzat yang jiwa Muhmmad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang shaum adalah lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi’." HR. Muslim, Shahih Muslim, II:807, No. 1151; Ahmad, Musnad Ahmad, III:5, No. 11.022; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:288, No. 921; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, II:286, No. 1005; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:198, No. 1900; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:273, No. 8117; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, VIII:232, No. 8492.

Sementara An-Nasai meriwayat hadis itu melalui Abu Sa’id, tanpa disertai Abu Huraerah. (Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:90, No. 2523 dan Sunan an-Nasai al-Mujtaba, IV:162, No. 2213). Selain itu, juga meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dengan sedikit perbedaan redaksi. (As-Sunan al-Kubra, II:90, No. 2521). Kemudian at-Thabrani meriwayatkan pula hadis itu dari Ibnu Mas’ud (Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, X:98, No. 10.078)

Kedua, dengan redaksi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Shaum itu perisai, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali). Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta'ala dari pada harumnya minyak kesturi, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku. Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:670, No. 1795.

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dengan redaksi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ يَقُولُ كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَالصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَإِنْ جَهِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ جَاهِلٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, ‘Setiap kebaikan diberi pahala sebanyak sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, sedangkan hsum diperuntukkan untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahala shaumnya (tanpa batasan jumlah pahala), shaum merupakan perisai dari api neraka, dan bau mulut orang yang shaum lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi dan jika orang jahil mengajak bertengkar kepada salah seorang di antara kalian padahal dia sedang shaum, maka katakanlah sesungguhnya saya sedang shaum’." HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:136, No. 764

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh An-Nasai dari Aisyah dengan perbedaan redaksi (Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:240, No. 3258 dan Sunan an-Nasai al-Mujtaba, IV:167, No. 2234).

Adapun keterangan tentang para setan dibelenggu di  bulan Ramadhan kita peroleh dari hadis lain yang shahih secara terpisah, sebagai sebagai berikut:

Pertama, dengan kalimat Shufidat as-Syaathiin

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam pertama bulan Ramadhan setan-setan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun pintu yang tertutup, serta penyeru menyeru, wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah, Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadlan’." HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:67, No. 682; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:126, No. 2097; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:526, No. 1642; Malik, al-Muwatha, I:311, No. 684; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:304, No. 8284; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:42, No. 1775;  Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:222, No. 3435; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:188, No. 1882; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:582, No. 1532; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XVII:133, No. 326, Al-Mu’jam al-Awsath, II:157, No. 1563, dengan sedikit perbedaan redaksi.

Kedua, dengan kalimat Sulsilat as-Syaathiin

عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Ibnu Abu Anas mawla at-Taymiyyiin telah mengabarkan kepada saya, bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu langit dibuka sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:672, No. 1800. Al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi: “Futihat abwaab al-jannah (dibuka pintu-pintu surga).” (Lihat, Shahih Al-Bukhari, III:1194, No. 3103)

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh:
  • An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:128, No. 2101;
  • Ahmad, Musnad Ahmad, II:281, No. 7767, dan Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:420, No. 1439  dengan kalimat “Futihat abwaab ar-Rahmah
  • Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:303, No. 8283
  • Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:221, No. 3434
  • Ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyiin, I:69, No. 82

Ketiga, dengan kalimat Tughallu fiihi as-Syaathiin

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw. bersabda, ‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418, No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh an-Nasai dengan kalimat:
وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ 
“dan setan-setan pembangkang dibelenggu” (Lihat, as-Sunan al-Kubra, II:66, No. 2416, Sunan an-Nasai, IV:129, No. 2106)
E. Bulan Ramadhan “Raja” Semua Bulan

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَيِّدُ الشُّهُورِ شَهْرُ رَمَضَانَ وَأَعْظَمُهَا حُرْمَةً ذُو الْحِجَّةِ
Dari Abu Sa’id al-Khudriyi, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Pemimpin bulan adalah bulan Ramadhan dan yang paling agung kehormatannya adalah Dzulhijjah’.” HR. Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:310, No. hadis 3479; Al-Bazzar, Kasyf al-Astar ‘An Zawa’id al-Bazzar ‘ala al-Kutub as-Sittah, I:369; Ibnu Asakir, Mukhtashar Tarikh Ibnu Asakir, XI:357

Al-Baihaqi meriwayatkan pula dengan redaksi:
سَيِّدُ الشُّهُورِ شَهْرُ رَمَضَانَ
“‘Pemimpin bulan adalah bulan Ramadhan.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, V:242, No. hadis 33640

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Khalid bin Yazid, dari Yazid bin Abdul Malik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Atha bin Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudriyi.
Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).

Hadis di atas dhaif dengan sebab kedaifan rawi Yazid bin Abdul Malik. Nama lengkapnya Yazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah, Abu Nawfal an-Nawfaliy. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if al-Hadits.” Ahmad berkata, “Munkar al-Hadits.” Abu Hatim berkata, “Dha’if al-Hadits,  Munkar al-Hadits jiddan.” Abu Zur’ah berkata, “Munkar al-Hadits.” Al-Bukhari berkata, “Ahaditsuhu syibh laa sya’ia.” An-Nasai berkata, “Matruk al-Hadits.” (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil, IX:279; At-Tarikh al-Kabir, VIII:348; Mizan al-I’tidal, VII:245; Tahdzib al-Kamal, XXXII:196-200)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Al-Baihaqi berkata:
فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ
“Padanya terdapat kedhaifan.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, V:242)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:
وفي إسناده مقال
“Pada sanadnya terdapat perbincangan.” (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VI:122)

Syekh al-Albani berkata:
وهذا إسناد ضعيف يزيد بن عبد الملك - وهو النوفلي -  قال الحافظ في التقريب : "ضعيف"  
“Dan ini sanad yang dhaif, Yazid bin Abdul Malik, dia An-Nawfali, Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib, ‘Dia dhaif’.” (Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah, VIII:205)

Kesimpulan:
Hadis yang menunjukkan bahwa Ramadhan sebagai “raja” semua bulan kedudukannya dhaif. Karena itu, tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan akan hal itu.

F. Harapan Ramadhan terjadi sepanjang Tahun

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَاتَ يَوْمٍ وَقَدْ أَهَلَّ رَمَضَانُ: لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا رَمَضَانُ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُونَ السَّنَةَ كُلَّهَا ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، حَدِّثْنَا ، فَقَالَ : إِنَّ الْجَنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ ، فَإِذَا كَانَ أَوَّلُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ هَبَّتْ رِيحٌ مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ ، فَصَفَقَتْ وَرَقَ الْجَنَّةِ ، فَتَنْظُرُ الْحُورُ الْعِينُ إِلَى ذَلِكَ ، فَيَقُلْنَ : يَا رَبِّ اجْعَلْ لَنَا مِنْ عِبَادِكَ فِي هَذَا الشَّهْرِ أَزْوَاجًا تُقِرُّ أَعْيُنَنَا بِهِمْ ، وَتُقِرُّ أَعْيُنَهُمْ بِنَا قَالَ : فَمَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ إِلاَّ زُوِّجَ زَوْجَةً مِنَ الْحُورِ الْعِينِ فِي خَيْمَةٍ مِنْ دُرَّةٍ مِمَّا نَعَتَ اللَّهُ : {حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ} [الرحمن] عَلَى كُلِّ امْرَأَةٍ سَبْعُونَ حُلَّةً ، لَيْسَ مِنْهَا حُلَّةٌ عَلَى لَوْنِ الأُخْرَى ، تُعْطَى سَبْعُونَ لَوْنًا مِنَ الطِّيبِ ، لَيْسَ مِنْهُ لَوْنٌ عَلَى رِيحِ الآخَرِ ، لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ سَبْعُونَ أَلْفَ وَصِيفَةٍ لِحَاجَتِهَا ، وَسَبْعُونَ أَلْفَ وَصِيفٍ...
Dari Abu Ma’sud, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda pada suatu hari dan hilal bulan Ramadhan telah terlihat, ‘Sekiranya para hamba mengetahui apa Ramadhan itu niscaya umatku berharap bulan Ramadhan sepanjang tahun.” Maka seorang laki-laki dari Khuza’ah berkata, ‘Wahai Nabi Allah, ceritakanlah kepada kami.’ Maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya surga itu pasti berhias untuk bulan Ramadhan dari penghujung tahun hingga tahun. Apabila pada hari pertama bulan Ramadhan angin berhembus dari bawah Arsy, lalu daun surga bergoyang, maka mata yang jelita memandang kepada hal itu. Lalu ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, jadikanlah bagi kami di antara hamba-hamba-Mu pada bulan ini pasangan yang menyejukan mata kami dan mata mereka.’ Nabi bersabda, “Maka tidak ada seorang hamba pun yang shaum satu hari di bulan Ramadhan kecuali ia diberi pasangan yang bermata jelita (dipingit) di dalam rumah yang terbuat dari mutiara sebagaimana disebutkan sifatnya Allah: ‘(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.  (QS. Ar-Rahman:72)
Setiap perempuan mengenakan 70 pakaian yang berbeda-beda warna dan aromanya dan setiap perempuan memiliki 1000 dayang (gadis pelayan) dan 70.000 bujang yang melayani kebutuhannya…HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:190-191, No. 1886; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:239, No. 3362.

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la (Lihat, Musnad Abu Ya’la, V:125, No. 5273), al-Mundziri (Lihat, at-Targhib wa at-Tarhib, II:355, No. 1765)  Ibnu al-Jauzi (Lihat, Al-Mawdhu’at, II:188-189) dan Abu Sa’id as-Syasyi (Lihat, al-Musnad as-Syasyi, II:410, No. 787), namun tercatat bersumber dari sahabat Ibnu Mas’ud, bukan Abu Mas’ud.

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Jarir bin Ayyub al-Bajali, dari Asy-Sya’bi, dari Nafi bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari (atau Ibnu Mas’ud versi riwayat lainnya).
Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).

Hadis di atas sangat dhaif dengan sebab kedaifan rawi Jarir bin Ayyub al-Bajali. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Al-Bukhari berkata, “Munkar al-Hadits.” Abu Nu’aim, “Kaana yadha’ul hadits (dia memalsukan hadis).” An-Nasai berkata, “Matruk.” (Lihat, Mizan al-I’tidal, II:116)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Al-Haitsami berkata:
رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ جَرِيرُ بْنُ أَيُّوبَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ
“Hadisnya diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan pada sanadnya terdapat rawi Jarir bin Ayyub, dan dia dhaif.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, III:141)

Ibnul Jawzi berkata:
هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم، والمتهم به جرير ابن أيوب.
“Ini adalah hadis palsu atas nama Rasulullah saw., dan rawi yang tertuduh dengan pemalsuan itu adalah Jarir Ibnu Ayyub.” (Lihat, Al-Mawdhu’at, II:188)

Penilaian yang sama disampaikan pula oleh as-Suyuthi (Lihat, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-ahadits al-Mawdhu’ah, II:85), Asy-Syawkani (Lihat, al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah:88) dan Syekh al-Albani (Lihat, Dha’if at-Targhib wa at-Tarhib, I:149)

Kesimpulan:
Hadis yang berkaitan dengan harapan bahwa Ramadhan terjadi selama setahun karena terdapat berbagai keutamaan seperti disebutkan di atas kedudukannya sangat dhaif, bahkan cenderung palsu, dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya keutamaan seperti itu. 
G. Diperintah Shaum agar Sehat 

Redaksi yang populer tentang perintah shaum agar sehat adalah sebagai berikut:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Shaumlah kalian, niscaya kalian akan sehat.”

Menurut ‘Alaa ad-Din al-Muttaqi al-Hindi, redaksi ini diriwayatkan oleh Ibnu As-Sunni dan Abu Nu’aim dalam kitab ath-Thib, dari Abu Huraerah. (Lihat, Kanz al-‘Ummal fii Sunan al-Aqwal wa al-‘Af’al, VIII:450)

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dengan redaksi yang agak panjang sebagai berikut:
اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapat ghanimah (harta rampasan), dan shaumlah kalian, niscaya kalian akan sehat, serta bepergianlah niscaya kalian akan menjadi kaya.” HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XIX:497, No. 1190, al-Mu’jam al-Awsath, VIII:174, No. 8312

Sementara dalam riwayat al-‘Uqaili dengan redaksi:
اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا تصحوا تَصِحُّوا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapat ghanimah (harta rampasan), dan shaumlah kalian, niscaya kalian akan sehat, serta bepergianlah niscaya kalian akan sehat.” (Lihat, Adh-Dhu’afa al-Kabir, III:204, No. 641

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Addi dari Ali bin Abu Thalib, dengan redaksi:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Shaumlah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (Lihat, al-Kamil fii Dhu’afa ar-Rijal, VI:411)

Kedudukan Hadis

Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua jalur periwayatan hadis Abu Huraerah itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abu Shalih, dari Abu Shalih, dari Abu Huraerah.

Sedangkan jalur periwayatan hadis Ali itu melalui rawi Abu Bakar bin Abu Uwais, dari Husen bin Abdullah bin Dhamirah, dari Abdullah bin Dhamirah, dari Ali bin Abu Thalib.

Hadis Abu Huraerah di atas dhaif dengan sebab kedaifan dua rawi:

Pertama, Zuhair bin Muhammad al-Anbari al-Khurasani.
Dia dhaif jika hadisnya diriwayatkan oleh orang-orang dari Syam.  Yahya bin Ma’in berkata, “Khurasani dha’if.” An-Nasai berkata, “Laisa bil Qawiyy.” Abu Hatim berkata, “Mahalluhu as-Sidq (Kedudukannya jujur) fi hifzhihi Su’ (buruk pada hapalannya), dan hadisnya di negeri Syam diingkari dibandingkan dengan hadisnya di Irak, karena dia buruk hapalan.”  Imam al-Bukhari berkata, “Diriwayatkan darinya oleh orang-orang Syam hadis-hadis munkar.” Ibnu Adi berkata, “Barangkali ketika orang-orang Syam meriwayatkan darinya mereka keliru atas hadisnya. Maka apabila diriwayatkan darinya oleh orang-orang Irak, riwayat-riwayat mereka menyerupai riwayat yang lurus.” (Lihat, Siyar A’lam an-Nubala, VIII:188, Al-Kamil fii Dhu’afa ar-Rijal, IV:177, al-Jarh wa at-Ta’dil, III:590, At-Tarikh al-Kabir, III:427, Tahdzib al-Kamal, IX:414)

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat memastikan bahwa hadis Abu Huraerah di atas dha’if karena diriwayatkan dari Zuhair oleh orang Syam, Yaitu Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud.

Kedua, Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud. Kata Abu Hatim, “Dia munkar al-Hadits.”  (Lihat, al-Jarh wa at-Ta’dil, VIII:267)

Adapun kedudukan hadis Ali di atas sangat dhaif dengan sebab kedaifan rawi Husen bin Abdullah bin Dhamirah, dia rawi tertuduh dusta. Karena itu Ibnu Addi mengkategorikan hadis ini sebagai bagian dari hadis-hadis munkar Husen. (Lihat, al-Kamil fii Dhu’afa ar-Rijal, II:357)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:

Imam al-‘Iraqi berkata:
رواه الطبراني في الأوسط وأبو نعيم في الطب النبوي من حديث أبي هريرة بسند ضعيف
“Hadis itu diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath dan Abu Nu’aim dalam ath-Thib an-Nabawi dari hadis Abu Huraerah dengan sanad yang dha’if.” (Lihat, Takhrij Ahadits Ihya ‘Ulum ad-Din, IV:1606)

Asy-Syawkani berkata:
حديث صوموا تصحوا قال الصغاني موضوع وقال في المختصر ضعيف
“Hadis shaumlah kalian niscaya kalian akan sehat, ash-Shaghani berkata, ‘Mawdhu’ (palsu)’, dan ia berkata pada al-Mukhtashar, ‘Dha’if’.”” (Lihat, Al-Fawa’id al-Majmu’ah fii al-Ahadits al-Mawdhu’ah:90)

Syekh al-Albani berkata, “Dha’ief.” (Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’iefah wa al-Mawdhu’ah, I:420)

F. Berdoa ketika berbuka shaum

Redaksi doa yang populer di sebagian kaum muslimin ketika berbuka shaum adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ برحمتك ياأرحم الراحمين

Sejauh penelitian kami, hampir selama 15 tahun, redaksi di atas tidak didapatkan sumber asalnya, sehingga tidak jelas riwayat siapa.

Adapun redaksi yang ditemukan sumber dan periwayatnya adalah sebagai berikut:

Pertama:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Artinya: "Ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku berbuka," H.r. Abu Daud dari Mu’az bin Zuhrah. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Dawud, II:528, No. 358, Al-Marasil:124, No. 99; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, VI:265, No. 1741; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:239; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:511.

Kedudukan Hadis

Muadz bin Zuhrah bukan seorang sahabat melainkan seorang tabi'in, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (Lihat,  Tahdzib at-Tahdzib, VIII:224) Karena itu hadis ini dikategorikan dhaif mursal, yaitu seorang tabi’in meriwayatkan secara langsung dari Nabi saw. tanpa melalui shahabat, padahal ia tidak sezaman dengan Nabi saw.
Sehubungan dengan itu, Abu Dawud mengelompokkan hadis itu dalam himpunan hadis-hadis mursal. (Lihat, Al-Marasil:124, No. 99)

Kedua:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَلِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Anas bin Malik, ia mengatakan, 'Rasulullah saw. apabila berbuka shaum mengucapkan, Dengan nama Allah, ya Allah, hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkaulah aku berbuka, " H.r. At-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsath, VIII:270.

Kedudukan Hadis

Hadis ini dhaif, bahkan dikategorikan sebagai hadis maudhu' (palsu). Dan kalaupun tidak termasuk hadis maudhu' hadis matruk sudah tentu. Karena pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Dawud bin Az-Zibirqan. Menurut Ya'qub bin Syu'bah dan Abu Zur'ah, "ia itu matruk (tertuduh dusta)". Sedangkan Ibrahim bin Ya'qub al-Jurjani mengatakan, "Kadzdzab (pendusta)" (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XIII:394-395).

Kata Ibnu Hajar, “Dan sanadnya dha’if, pada sanadnya terdapat Dawud bin Az-Zibirqan, dia matruk.” (Lihat, at-Talkhish al-Habir, II:802)

Kata Al-Haitsami, “Diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, dan pada sanadnya terdapat Dawud bin Az-Zibirqan, dia dha’if.” (Lihat, Majma’ az-Zawa’id, III:159)

Ketiga:

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قال :كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيمُ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, "Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan : Hanya karena Engkaulah aku shaum dan atas rezeki Engkau aku berbuka. Maka terimalah dariku karena sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui," H.r. Ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Kabir, XII:146

Kedudukan Hadis

Hadis ini juga dhaif bahkan palsu, karena terdapat seorang rawi  bernama Abdul Malik bin Harun. Abu Hatim berkata, "Ia itu matruk, menghilangkan hadis". Yahya bin Main mengatakan, "Ia itu kadzdzab (pendusta)". Ibnu Hiban mengatakan, "Ia itu membuat hadis palsu". (Lihat, Lisan al- Mizan, IV:71).

Kesimpulan

Karena redaksi-redaksi doa di atas bersumber dari para rawi yang sangat dha’if (pendusta dan pemalsu hadis), maka tidak layak dijadikan landasan syariat. Dengan perkataan lain, tidak layak digunakan sebagai doa berbuka shaum, karena tidak akan berfaidah.

Adapun yang layak dijadikan landasan syariat adalah hadis sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. apabila berbuka mengucapkan "Telah hilang dahaga, terbasahi tenggorokan, dan telah ditetapkan pahala insya Allah," H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:306, No. hadis 2357, an-Nasai, as-Sunanul Kubra, II:255, VI:82, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:239, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, I:584, dan ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:185

Kedudukan Hadis

Kata Imam ad-Daraquthni, “Sanad hadis ini hasan” (Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II:185) Demikian pula penilaian Syekh al-Albani. (Lihat, Irwa al-Ghalil, IV:39)

Karena hadis hasan dapat digunakan sebagai hujah dalam hukum dan ibadah, maka redaksi doa inilah yang layak digunakan sebagai doa berbuka shaum, karena akan berfaidah pahala. (Lihat, Tahdzir al-Khillan Min Riwayah al-Ahadits adh-Dha’iefah Hawla Ramadhan:82)

Demikian beberapa contoh hadis dhaif yang berhubungan dengan bulan Ramadhan dan shaum di bulan itu. Semoga bermanfaat dalam meneguhkan keyakinan dan meluruskan pengamalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami hanya menjawab KOMENTAR yang menuju PERBAIKAN